MUNCULNYA kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) menunjukkan kelemahan regulasi menyangkut tata kelola lembaga filantropi.
Padahal kehadiran lembaga kemanusiaan seperti ACT di Indonesia cukup bermanfaat, terutama dalam membantu menangani masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Persoalan ini perlu menjadi perhatian serius, terutama dari pembentuk undang-undang (DPR bersama Pemerintah).
Bila tidak, kejadian semacam ini berpotensi terus berulang yang berujung pada degradasi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga filantropi yang ada.
Adanya kasus ACT tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa terdapat kekosongan hukum terkait pengaturan lembaga pengumpul sumbangan. Hal ini kemudian menjadi celah bagi pengelola dalam menjalankan kegiatannya.
Dalam kasus ACT, meski izin penyelenggaraan pengumpulan uang dan barang yang diberikan telah dicabut oleh Kementerian Sosial, namun langkah itu tidak cukup dan tidak akan menyelesaikan persoalan.
Kasus ACT tidak hanya berdampak pada eksistensi lembaga terkait, tetapi juga pada lembaga lain yang bergerak di bidang yang sama.
Kita perlu belajar dari polemik ini, memahami karakteristik masyarakat Indonesia yang dermawan, ada banyak lembaga yang mengumpulkan dana dari sumbangan masyarakat.
Ibarat fenomena gunung es, tidak tertutup kemungkinan kasus serupa juga terjadi di lembaga-lembaga pengumpulan dana sumbangan masyarakat lainnya.
Selama ini, pengumpulan dana sumbangan masyarakat diatur lewat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (UU PUB) juncto Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Namun sejumlah regulasi tersebut sudah usang dan perlu diperbaharui.
Setidaknya, terdapat tiga hal yang mendasar mengapa regulasi tentang pengumpulan uang dan barang perlu diperbaharui.
Pertama, peraturan tersebut sudah usang dan tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan zaman.
Misalnya dalam konteks UU PUB yang hanya mengatur persoalan perizinan dan tidak mengamanatkan akuntabilitas maupun sanksi terhadap pelanggaran penggunaan dana sumbangan masyarakat.
Kedua, UU PUB tidak mengatur besaran biaya pengelolaan yang bisa ditarik oleh lembaga atau pengelola sumbangan dan juga sanksi atas pelanggarannya.
Hal ini menjadi celah bagi lembaga dan pengelola untuk menerapkan biaya pengelolaan secara sepihak.