Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Christina Aryani
Anggota DPR RI

Christina Aryani adalah anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar yang bertugas di Komisi I dan Badan Legislasi. Lulusan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya dan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tengah menempuh studi Doktor Ilmu Hukum di Universitas Indonesia.

Belajar dari Polemik ACT: Perlu Pembaruan Hukum Lembaga Filantropi

Kompas.com - 21/07/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MUNCULNYA kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) menunjukkan kelemahan regulasi menyangkut tata kelola lembaga filantropi.

Padahal kehadiran lembaga kemanusiaan seperti ACT di Indonesia cukup bermanfaat, terutama dalam membantu menangani masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat.

Persoalan ini perlu menjadi perhatian serius, terutama dari pembentuk undang-undang (DPR bersama Pemerintah).

Bila tidak, kejadian semacam ini berpotensi terus berulang yang berujung pada degradasi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga filantropi yang ada.

Kekosongan hukum

Adanya kasus ACT tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa terdapat kekosongan hukum terkait pengaturan lembaga pengumpul sumbangan. Hal ini kemudian menjadi celah bagi pengelola dalam menjalankan kegiatannya.

Dalam kasus ACT, meski izin penyelenggaraan pengumpulan uang dan barang yang diberikan telah dicabut oleh Kementerian Sosial, namun langkah itu tidak cukup dan tidak akan menyelesaikan persoalan.

Kasus ACT tidak hanya berdampak pada eksistensi lembaga terkait, tetapi juga pada lembaga lain yang bergerak di bidang yang sama.

Kita perlu belajar dari polemik ini, memahami karakteristik masyarakat Indonesia yang dermawan, ada banyak lembaga yang mengumpulkan dana dari sumbangan masyarakat.

Ibarat fenomena gunung es, tidak tertutup kemungkinan kasus serupa juga terjadi di lembaga-lembaga pengumpulan dana sumbangan masyarakat lainnya.

Selama ini, pengumpulan dana sumbangan masyarakat diatur lewat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (UU PUB) juncto Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Namun sejumlah regulasi tersebut sudah usang dan perlu diperbaharui.

Setidaknya, terdapat tiga hal yang mendasar mengapa regulasi tentang pengumpulan uang dan barang perlu diperbaharui.

Pertama, peraturan tersebut sudah usang dan tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan zaman.

Misalnya dalam konteks UU PUB yang hanya mengatur persoalan perizinan dan tidak mengamanatkan akuntabilitas maupun sanksi terhadap pelanggaran penggunaan dana sumbangan masyarakat.

Kedua, UU PUB tidak mengatur besaran biaya pengelolaan yang bisa ditarik oleh lembaga atau pengelola sumbangan dan juga sanksi atas pelanggarannya.

Hal ini menjadi celah bagi lembaga dan pengelola untuk menerapkan biaya pengelolaan secara sepihak.

Ketiga, perlunya diatur sistem pengawasan dalam pengelolaan dana sumbangan masyarakat. Dalam konteks ini, regulasi yang ada belum mengakomodir aspek pengawasan pengelolaan dana sumbangan masyarakat.

Aspek keterbukaan juga terhitung abu-abu yang menyebabkan publik sulit mengakses informasi terkait alokasi penggunaan sumbangan yang berhasil dikumpulkan.

Sebenarnya, persoalan keterbukaan pengelolaan dana sumbangan juga termasuk dalam ranah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Merujuk pada undang-undang ini, lembaga filantropi yang merupakan bagian dari badan publik bertanggung jawab memberikan laporan kepada masyarakat penyumbang tentang penggunaan aliran dana (masuk dan keluar).

Namun, undang-undang ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Badan Publik (definisinya mencakup organisasi non pemerintah yang dananya bersumber dari sumbangan masyarakat) seringkali menolak memberikan informasi yang diminta.

Bahkan setelah ada putusan Komisi Informasi pun masyarakat tetap sulit mendapatkan infromasi.

Sebagai contoh, akibat dari lemahnya pengaturan yang ada, pada tahun 2016 seorang konsumen bernama Mustolih mengajukan gugatan keterbukaan informasi publik di Komisi Infomasi terhadap Alfamart terkait pengelolaan dana sumbangan dari kembalian uang konsumen senilai Rp 33,6 miliar tahun 2015.

Dalam putusannya, Komisi Informasi memerintahkan Alfamart untuk memberikan data kepada Mustolih.

Namun, alih-alih mematuhi putusan tersebut, Alfamart justru mengajukan gugatan atas putusan tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Meski gugatan Alfamart kemudian ditolak, namun hal ini dapat menjadi bukti bahwa tidak ada transparansi dalam pengelolaan dana sumbangan.

Jalan yang tersedia melalui Komisi Informasi pun tidak menjadi jaminan akan adanya keterbukaan.

Pada akhirnya, untuk memperbaiki tata kelola lembaga filantropi dan mencegah apa yang terjadi pada ACT kembali berulang, maka revisi terhadap undang-undang menjadi jalan keluarnya dengan memastikan dimuatnya pengaturan terhadap segala kelemahan yang telah teridentifikasi pada regulasi saat ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com