BERITA terbunuhnya Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Polisi Ferdy Sambo menjadi salah satu berita yang paling dinamis di ruang publik nasional, terutama di jagad media sosial.
Berita tersebut melahirkan berbagai narasi dan interpretasi liar dari berbagai pihak, terutama para pihak yang sejatinya tidak mempunyai kualifikasi untuk memberikan kesimpulan.
Di Twitter, berbagai macam kata disematkan di belakang tagar, yang nadanya cenderung memosisikan institusi Polri pada posisi yang negatif. Pilihan katanya silih berganti setiap hari dan acapkali menjadi trending topik.
Padahal, secara yuridis formal belum ada hasil investigasi hukum yang menjadi keputusan hukum tetap dari institusi otoritatif. Tapi asumsi dan rumor tendensius beredar sangat deras.
Institusi Polri nampaknya kurang siap berhadapan dengan dinamika media online dan media sosial akibat kasus terbunuhnya Brigadir J.
Rumor, asumsi, dan narasi-narasi kecurigaan bergerak jauh di luar narasi formal yang disodorkan Polri.
Persepsi publik dengan mudah tergiring menjauhi ekspektasi persepsi dari Polri dan menggelinding tanpa batasan.
Seharusnya, sejak pertama kali Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyatakan kesediaan untuk membentuk tim khusus, institusi Polri cq Divisi Humas, sudah mempersiapkan langkah-langkah strategis komunikasi krisis.
Karena pembentukan tim khusus itu sendiri adalah bukti bahwa kasus Brigadir J adalah kasus penting yang berpeluang merusak kredibilitas institusi Polri jika tak ditangani dengan tepat, cepat dan benar, baik dari sisi penyelidikan-penyidikan-investigasi, maupun dari sisi komunikasi.
Apalagi jika dilihat dari perkembangan di media sosial sejak pemberitaan kasus tersebut dimulai. Narasi atas kasus tersebut sudah melebar terlalu luas. Dan akan sangat salah jika menegasikan dinamika sosial media atas satu kasus tertentu.
Media sosial bisa sangat beringas jika tak diperlakukan secara proporsional. Pakar krisis komunikasi Jonathan Bernstein pernah mengingatkan, “In the 21st century, a social media savant can do more harm than a trial attorney.”
Bahkan hari ini, ilmuwan sosial dan politik memberikan tempat khusus pada media sosial, terutama sejak sepak terjang media sosial dalam peristiwa besar seperti Arab Spring dan internasionalisasi ISIS.
Pemanfaatan media sosial seperti Twitter, Facebook hingga YouTube menjadi instrumen perubahan politik di Tunisia (awal peristiwa Arab Springs).
Media sosial dijadikan wadah untuk menggalang perlawanan politik masyarakat Tunisia yang tergerak hatinya saat ada aksi bunuh diri (membakar diri) seorang pemuda penjual sayur yang barang dagangannya dijarah aparat polisi setempat.
Masyarakat pro perubahan memanfaatkan Facebook dan Twitter untuk menggalang kekuatan melawan rezim Presiden Zine El Abidine Ben Ali, yang kemudian berbuah “Revolusi Tunisia".