JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keinginan untuk melaksanakan pemilihan umum guna membentuk pemerintahan yang demokratis dan sesuai kehendak rakyat harus tertunda.
Penyebabnya adalah kondisi saat itu yang tidak memungkinkan dari segi keamanan dan pertahanan. Setelah Perang Dunia II selesai, Belanda ingin kembali menguasai Hindia-Belanda.
Maka dari itu Belanda datang ke Indonesia yang sudah menyatakan kemerdekaan dengan kekuatan militer penuh. Alhasil terjadi peperangan dengan kelompok pendukung kemerdekaan atau pro republik. Peperangan terus terjadi sampai Indonesia dan Belanda berdamai melalui perundingan Konferensi Meja Bundar yang diteken di Den Haag, pada 2 November 1949.
Selain itu, kondisi politik di dalam negeri juga bergejolak. Sebab Republik Indonesia menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berdiri pada 27 Desember 1949 hingga dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Baca juga: KPU Rencanakan Pendaftaran Parpol Peserta Pemilu Agustus 2022, Bakal Gunakan Sipol
Kondisi keamanan di dalam negeri juga ketika itu diwarnai dengan konflik yang memicu sejumlah gerakan pemberontakan, yakni:
Karena hal itu pelaksanaan pemilihan umum perdana di Republik Indonesia baru bisa dilakukan setelah satu dasawarsa yakni pada 1955.
Pemerintahan pertama Indonesia yang dipimpin Soekarno-Hatta sebenarnya sudah menyatakan keinginan untuk menyelenggarakan Pemilu di awal 1946.
Hal itu tercantum dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 3 November 1945.
Baca juga: Kotak Suara Kardus Akan Dipakai di Pemilu 2024, Apakah Aman?
Dalam maklumat itu disebut bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Namun, selain faktor kondisi keamanan dan politik, penyelenggaraan pesta demokrasi itu terkendala belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu.
Pemerintah juga sempat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 12 tahun 1949 tentang Pemilu.
Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung) dengan alasan agar tidak terjadi distorsi karena mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf.
Mengutip Naskah Sumber Arsip Jejak Demokrasi Pemilu 1955 yang dirilis Arsip Nasional Republik Indonesia (2019), Pemilu 1955 digelar pada masa pemerintahan kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Baca juga: Bawaslu Tekankan Pentingnya Literasi Digital Jelang Pemilu 2024
Dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 1955 adalah UU Nomor 7 tahun 1953. Pemilu saat itu dilaksanakan intuk memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante.
Pemilu 1955 diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perseorangan.
Partai politik peserta Pemilu 1955 adalah sebagai berikut:
Sistem yang digunakan pada Pemilu 1955 adalah perwakilan proporsional dengan tiap daerah pemilih mendapatkan jumlah kursi atas dasar jumlah penduduknya. Setiap daerah berhak mendapatkan jatah minimal enam kursi untuk Konstituante dan tiga kursi untuk parlemen.
Setiap daerah berhak mendapatkan jatah minimal enam kursi untuk Konstituante dan tiga kursi untuk parlemen. Pemilu dilakukan dua kali, yang pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR.
Yang kedua dilakukan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Hasil Pemilu 1955 Pada Pemilu 1955 terdapat 260 jumlah kursi DPR dan 520 kursi untuk Konstituante.
Baca juga: Sejarah Pemilu dan Pilpres 2019, dari Peserta hingga Hasil
Ini masih ditambah dengan 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Mulanya wilayah Indonesia dibagi dalam 16 berdasarkan sistem perwakilan proporsional. Namun dalam pelaksanaannya Irian Barat gagal melaksanakan Pemilu karena daerah tersebut masih dikuasai oleh Belanda sehingga hanya tersisa 15 daerah pemilihan.
Partai politik yang masuk dalam posisi 3 besar di DPR hasil Pemilu 1955 adalah:
Berikut ini hasil lengkap perolehan suara dan kursi partai politik di DPR pada Pemilu 1955:
1. Partai Nasional Indonesia (PNI)
Suara: 8.434.653 (22,32 persen)
Kursi: 57
2. Masyumi
Suara: 7.903.886 (20,92 persen)
Kursi: 57
3. Nahdlatul Ulama (NU)
Suara: 6.955.141 (18,41 persen)
Kursi: 45
4. Partai Komunis Indonesia (PKI)
Suara: 6.179.914 (16,36 persen)
Kursi: 39
5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
Suara: 1.091.160 (2,89 persen)
Kursi: 8
6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
Suara: 1.003.326 (2,66 persen)
Kursi: 8
7. Partai Katolik
Suara: 770.740 (2,04 persen)
Kursi: 6
8. Partai Sosialis Indonesia (PSI)
Suara: 753.191 (1,99 persen)
Kursi: 5
9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
Suara: 541.306 (1,43 persen)
Kursi: 4
10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
Suara: 483.014 (1,28 persen)
Kursi: 4