JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga advokasi perlindungan bagi pekerja migran, Migrant Care, menyoroti sejumlah kelemahan dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia pekan lalu.
Nota kesepahaman itu disepakati melalui pernyataan bersama yang diteken oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, dan Menteri Sumber Daya Malaysia Dato’ Sri M Saravanan Murugan. Kesepakatan yang ditandatangani kedua negara adalah terkait penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor domestik atau asisten rumah tangga.
Permasalahan yang dialami tenaga kerja Indonesia di Malaysia juga sempat menjadi ganjalan hubungan diplomatik kedua negara. Sejumlah kasus kekerasan dan majikan yang tidak membayarkan upah yang dialami para pekerja migran Indonesia membuat komitmen pemerintah untuk melindungi para "pahlawan devisa" kerap dipertanyakan.
Ada sejumlah poin penting dalam Mou itu, yakni Indonesia dan Malaysia sepakat menerapkan Sistem Penempatan Satu Kanal (One Channel System).
Baca juga: Indonesia-Malaysia Teken MoU Perlindungan PMI, Kasus Buruk yang Menimpa PMI Diharapkan Berkurang
Ida mengatakan OCS menjadi mekanisme penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sektor domestik di Malaysia yang dilakukan melalui integrasi sistem penempatan milik Pemerintah Indonesia dan sistem rekrutmen dan imigrasi milik Pemerintah Malaysia.
OCS menjadi satu-satunya kanal bagi proses perekrutan dan penempatan PMI sektor domestik ke Malaysia dan kedua pemerintah sepakat untuk menuangkan komitmen tersebut dalam sebuah Joint Statement.
"Indonesia akan dikecualikan dari proses penempatan pekerja migran ke Malaysia melalui Sistem Maid Online (SMO)," kata Ida.
Baca juga: Kemlu Pastikan MoU RI-Malaysia Mengakomodir Unsur Perlindungan PMI
Karena sistem penempatan satu kanal itu, kata Ida, untuk masa mendatang tidak ada lagi proses penempatan langsung (direct hiring) untuk asisten rumah tangga dari Indonesia ke Malaysia. Perekrutan ART harus dilakukan melalui agensi perekrutan Indonesia dan Malaysia yang memiliki izin dari masing-masing pemerintah dan terdaftar di dalam sistem yang terintegrasi.
Selain itu, Indonesia juga menekankan pekerja migran sektor domestik hanya akan bekerja di 1 tempat atau rumah. Pekerja migran Indonesia dengan jabatan Housekeeper and Family Cook bekerja pada pemberi kerja dengan jumlah keluarga maksimum 6 orang dalam 1 tempat atau rumah.
Pemberi kerja, kata Ida, dapat merekrut PMI dengan jabatan Child Caretaker untuk merawat anak dan/atau Elderly Caretaker untuk merawat lansia sesuai kebutuhan.
Pekerja migran Indonesia sektor domestik, kata Ida, juga akan diikutsertakan dalam skema asuransi ketenagakerjan Malaysia untuk pekerja asing (SOCSO) dan asuransi kesehatan Malaysia, dengan biaya premi ditanggung oleh Pemberi Kerja.
Selain itu, penerbitan Entry Visa dan Work Pass berdasarkan pada Perjanjian Kerja yang telah di-endorse oleh Perwakilan RI di Malaysia.
Baca juga: 26 PMI Ilegal Asal NTT Meninggal di Luar Negeri Selama 2022
Perwakilan RI di Malaysia berwenang menetapkan besaran upah minimum PMI (RM 1,500 atau setara Rp 5,2 juta) dan pendapatan minimum calon pemberi kerja (RM 7,000 atau setara Rp23,8 juta).
Dalam nota kesepahaman itu juga disepakati adanya waktu kerja, istirahat dan libur, serta hak memiliki akses berkomunikasi bagi PMI.
Selain itu, di dalam nota kesepahaman menyebutkan Indonesia melarang majikan menahan paspor atau dokumen pribadi milik pekerja migran. Pemerintah Malaysia diwajibkan memastikan larangan itu dipatuhi.