JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Nahar mengatakan, tayangan sinetron Suara Hati Istri yang mendapat kecaman dari masyarakat menimbulkan toxic masculinity.
Hal tersebut dikarenakan dalam sinetron yang tayang di Indosiar itu, tokoh Zahra yang diperankan aktris di bawah umur merupakan istri ketiga yang sering mendapatkan kekerasan psikis dari pemeran pria, yang diceritakan menjadi suaminya.
Kekerasan psikis itu berupa bentakan dan makian serta pemaksaan melakukan hubungan seksual.
"Tayangan ini secara tidak langsung dapat pula memengaruhi kondisi psikologis masyarakat dan menimbulkan toxic masculinity," kata Nahar kepada Kompas.com, Rabu (2/6/2021) malam.
Adapun toxic masculinity atau maskulinitas beracun yang dimaksud adalah, dampak yang muncul dengan terbangunnya konstruksi sosial di masyarakat bahwa pria identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, kekerasan, dan merendahkan perempuan.
Selain itu, sinetron tersebut juga dinilainya berisiko mempengaruhi masyarakat untuk melakukan perkawinan usia anak.
Ini termasuk kekerasan seksual dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Pasalnya, kata dia, pada tayangan tersebut diceritakan bahwa Zahra sebagai pemeran utama dinikahkan dengan alasan untuk membayar utang keluarganya.
"Jika nanti ditemukan kasus serupa di lapangan dan setelah digali peristiwa tersebut merupakan bentuk imitasi dari siaran TV, ini dapat memicu terjadinya berbagai pelanggaran hak anak," kata dia.
Baca juga: Sudah Bertemu Indosiar, KPI: Pemeran Zahra di Sinetron Suara Hati Istri Akan Diganti
Lebih lanjut Nahar mengungkapkan, pihaknya meyakini bahwa setiap tayangan yang disiarkan lembaga penyiaran TV bermaksud mendukung program pemerintah dan mengedukasi masyarakat.
Program pemerintah itu termasuk dalam upaya mencegah perkawinan anak, TPPO dan kekerasan seksual.
Namun yang disayangkan, kata dia, skenario yang dibuat dalam sinetron Suara Hati Istri masih belum memperhatikan prinsip-prinsip pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.
"Sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terkait muatan atau skenario dalam tayangan tersebut," kata dia.
"Tayangan harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi hak anak-anak dan remaja dan wajib mempertimbangkan keamanan dan masa depan anak-anak dan/atau remaja," ucap Nahar.
Baca juga: Kementerian PPPA: Sinetron Suara Hati Istri Menstimulasi Pernikahan Dini