JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif menyebutkan, dalam perkara sengketa Pilkada Kabupaten Bandung, Samosir, dan Yalimo sebenarnya sudah melebihi syarat ambang batas pengajuan permohonan sengketa Pilkada 2020.
Namun, pemeriksaannya tetap dilanjutkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ke tahap pembuktian.
"Sebetulnya perkara ini melebihi ambang batas 2 persen dan juga pendaftarannya melebihi waktu yang ditentukan," kata peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda dalam konferensi persnya, Kamis (18/2/2021).
"Tetapi yang berbeda dengan perkara lain yang tidak diterima MK, perkara tetap lanjut diperiksa perkara," ujar dia.
Baca juga: Kode Inisiatif: 80 Persen Perkara Pilkada Ditolak MK karena Lewati Ambang Batas Permohonan
Violla pun mencoba menganalisis mengapa MK tetap melanjutkan ke tahap selanjutnya.
Terkait perkara Kabupaten Samosir, Violla menduga ini krusial diperiksa karena adanya persoalan mendasar di bagian pencalonan ditujukan pada pihak terkait.
Sebagaimana dalil yang disampaikan pemohon adanya indikasi ketidaksesuain dokumen dihadrikan pihak terkait atau kandidat yang menang sebelumya.
Selain itu, pemohon mendalilkan ada politik uang serta tidak adanya pelaksanaan kewenangan optimal penyelenggara pemilu terutama Bawaslu.
"Yaitu dokumen perpajakan dan juga dokumen terkait pendidikan, ijazah legalisir, ini hal yang krusial yang dijadikan pemohon mengajukan sengketa PHPK di MK," ujar dia.
Baca juga: 32 Sengketa Pilkada di MK Lanjut Tahap Pembuktian, Ini Daftar Daerahnya
Sementara untuk Kabupaten Bandung dilanjutkan kemungkinan karena dalil pemohon yang menyatakan adanya politik atau menjanjikan sesuatu kepada konstituen melalui visi dan misi pihak terkait.
Seperti, bantuan untuk RW, pembagian kartu wirausaha, bantuan pertanian, dan insentif guru mengaji.
Pemohon juga mendalilkan ada dugaan keterlibatan ASN dan penggunaan sarana dan prasarana keagamaan dalam kampanye.
"Selain itu, pemohon juga mendalilkan adanya kampanye pihak terkait yang menggunakan isu SARA terkait gender," ucapnya.
Menurut Violla, pihak terkait menyebutkan "tidak ada sejarahnya Kabupaten Bandung dipimpin oleh perempuan dan perintah agama pemimpin harus laki-laki".
Pemohon juga menyinggung ketidaknetralan dan profesionalitas KPU dan Bawaslu dalam menyelenggarakan pilkada.