JAKARTA, KOMPAS.com - Narapidana kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali ,Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra, berencana kembali mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK).
"Sudah (berencana mengajukan permohonan PK), sudah pasti, pasti," kata pengacara Djoko Tjandra, Otto Hasibuan, ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (2/8/2020).
Otto mengaku sudah diminta oleh Djoko Tjandra untuk menjadi kuasa hukumnya dalam mengajukan permohonan PK tersebut.
Kendati demikian, Otto meminta Djoko menyelesaikan urusannya dengan pengacara terdahulu. Menurut dia, hal itu merupakan bagian dari kode etik profesi.
Baca juga: Otto Hasibuan Resmi Jadi Kuasa Hukum Djoko Tjandra
"Kalau informasi ke saya dibilang dia sudah meminta saya untuk juga mengajukan PK. Tapi, saya bilang, Pak Djoko kalau memang minta ada PK, tolong selesaikan dulu hubungannya dengan pengacara yang lama," lanjut dia.
Diketahui, Djoko Tjandra sebelumnya mengajukan permohonan PK pada 8 Juni 2020 dengan didampingi kuasa hukum dari Anita Kolopaking & Partners.
Pada 28 Juli 2020, PN Jakarta Selatan menetapkan tidak menerima permohonan PK tersebut dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung (MA).
Alasannya, pengajuan PK baru dapat diterima apabila didaftarkan oleh pihak yang beperkara secara langsung, bukan diwakilkan oleh kuasa hukum saja.
Otto menjadi kuasa hukum untuk Djoko Tjandra sejak Sabtu (1/8/2020) malam.
Baca juga: Polisi Tunggu Surat Kuasa Otto Hasibuan Sebagai Pengacara Djoko Tjandra
Salah satu alasannya untuk menjadi pengacara Djoko Tjandra adalah ia mengaku merasa terpanggil untuk membantu.
Sebab, dalam pandangannya, terdapat sejumlah ketidakadilan yang terjadi pada Djoko yang sempat buron selama 11 tahun.
"Kok ada putusan yang batal demi hukum, dilaksanakan untuk alasan menahan orang. Ya wajar kalau Djoko Tjandra merasa diperlakukan tak adil," ucap dia.
Otto Hasibuan menyoroti penahanan terhadap kliennya tersebut yang merupakan eksekusi putusan MA pada tahun 2009 atas peninjauan kembali (PK) yang diajukan jaksa.
MA menerima dan menyatakan Direktur PT Era Giat Prima itu bersalah. Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.
Otto berpandangan penahanan tersebut tidak sah karena dalam amar putusan tak tertulis perintah agar Djoko Tjandra ditahan.
Baca juga: Pembentukan Hak Angket pada Kasus Djoko Tjandra Dinilai Kurang Tepat