JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memprediksi oligarki akan kian menguat dalam gelaran Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020.
"Oligarki di pemilu dan pilkada kita makin subur," kata Titi Anggraini dalam sebuah diskusi yang digelar secara virtual, Rabu (29/7/2020).
Setidaknya, ada empat hal yang menurut Titi menyubutkan oligarki di Tanah Air.
Baca juga: Mereka yang Terpaksa Berdamai dengan Pandemi Covid-19 dan Cengkeraman Oligarki...
Keempatnya yakni terkait regulasi, tata kelola partai politik yag belum demokratis, penegakan hukum yang lemah, hingga kesadaran masyarakat yang rendah.
Terkait regulasi, Titi menyinggung soal terus meningkatnya ambang batas pencalonan kepala daerah.
Diketahui, untuk dapat mencalonkan kepala daerah partai politik setidaknya harus memiliki 20 persen kursi atau 25 persen suara sah dari Pemilu DPRD sebelumnya.
Hal lain yang juga berkaitan dengan regulasi ialah berat dan mahalnya persyaratan pencalonan kepala daerah jalur independen atau perseorangan.
"Tendensinya memang para pembuat UU sengaja menghambat kehadiran calon perseorangan," ujar Titi.
Baca juga: JPRR: Jika Pemilu Proporsional Tertutup, Oligarki Menguat
Kedua, berkaitan dengan tata kelola internal partai yang belum demokratis. Menurut Titi, pengambilan keputusan di parpol ditentukan oleh segelintir orang saja.
Rekrutmen calon kepala daerah masih didominasi oleh pimpinan partai. Sedangkan pengurus dan anggota tidak punya akses memadai pada pengambilan keputusan terkait proses nominasi yang dilakukan oleh partai.
"Sekarang apakah anggota partai tahu mengapa si A, B, C, D yang dicalonkan partai? tidak ada akuntabilitas yang bisa diakses oleh pengurus dan anggota partai terkait proses nominasi di internal partai," ucap Titi.
Baca juga: Pilkada 2020 Jalan Terus Meski Covid-19 Tembus 100.000 Kasus...
Ketiga, penegakan hukum yang dinilai masih lemah. Titi mengatakan, kerangka hukum pemilu dan pilkada didesain tidak mampu menangkap realitas keadilan pemilu dengan baik.
Sebab, politik uang dan praktik mahar politik didesain sulit untuk diusut penegakan hukum, khususnya pada aktor intelektual atau pelaku utama.
"Kelembagaan penegakan hukum dianggap tidak memberi efek jera. Padahal sudah sangat banyak pihak terlibat, ada Bawaslu, polisi, jaksa, pengadilan," ujar Titi.
Baca juga: Pilkada Berlanjut, Ketua KPU: Tak Ada yang Tahu Kapan Pandemi Berakhir