Keempat, kesadaran masyarakat terhadap pemilu dan pilkada dinilai masih rendah dan cenderung permisif.
Pendidikan politik yang menjadi hak rakyat yang harusnya diperoleh melalui partai tidak berjalan atau tidak tersedia.
Akses informasi pada rekam jejak calon juga sangat terbatas. Pada Pemilu Legislatif 2019 saja, ada partai yang hampir 90 persen calegnya tidak bersedia membuka CV atau rekam jejak ke publik.
"Jadi bagaimana kita tahu seorang calon dengan mudah adalah mantan pelaku korupsi atau punya masalah hukum, kapasitas kompetensinya seperti apa akalau akses pada informasi itu tidak tersedia dengan maksimal," ujar Titi Anggraini.
Baca juga: Sudah Habiskan Rp 1 Triliun, KPU Tegaskan Pilkada 2020 Tetap Digelar
Titi menambahkan, situasi pandemi Covid-19 juga kian menyuburkan praktik oligarki di penyelenggaraan pemilihan.
Pencalonan kepala daerah di setiap partai bakal semakin tertutup hingga publik tak bisa lagi mengawasi.
"Oligarki akan semakin menguat saat pilkada di masa pandemi. Pencalonan makin elitis dan tertutup, partai makin berlari kencang meninggalkan publik," kata dia.
Baca juga: Bawaslu Nilai KPU Fokus ke Kesehatan, Abaikan Persoalan Teknis Pilkada 2020
Untuk diketahui, Pilkada 2020 digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Semula, hari pemungutan suara Pilkada akan digelar pada 23 September. Namun, akibat wabah Covid-19, hari pencoblosan diundur hingga 9 Desember 2020.
Tahapan pilkada lanjutan pasca-penundaan telah dimulai pada 15 Juni 2020.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.