Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kritik UU KPK Hasil Revisi, Febri: Ungkap Kasus Kakap Butuh Waktu Lama

Kompas.com - 09/10/2019, 22:43 WIB
Ardito Ramadhan,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mengingatkan bahwa tidak semua penyidikan kasus dapat diselesaikan dalam waktu dua tahun sebagaimana diatur dalam UU KPK hasil revisi.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mencontohkan kasus tindak pidana pencucian uang adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana, yang penyidikannya memakan waku hingga lima tahun.

"Kalau penanganan perkara di KPK dibatasi waktunya dua tahun, mungkin kasus seperti TPPU atau kasus seperti TCW ini tidak mungkin terbongkar. Penyidikan kasus ini membutuhkan waktu lima tahun meskipun kita tahu yang disita jumlahnya signifikan Rp 500 miliar," kata Febri, Rabu (9/10/2019).

Baca juga: Soal UU KPK, dari Fungsi Kontrol hingga Sebuah Keniscayaan

Febri menuturkan, kasus TPPU Wawan di atas merupakan salah satu kasus kakap yang cukup rumit lantaran KPK mesti menghitung kerugian keuangan negara dengan jumlah yang signifkan.

Menurut Febri, kerumitan serupa juga terjadi ketika KPK mengusut kasus KTP Elektronik, BLBI, maupun korupsi di sektor pertambangan, kehutanan serta kasus korupsi lintas negara.

Febri menyatakan, UU KPK hasil revisi yang membatasi masa penyidikan menjadi hanya dua tahun sangat berisiko melemahkan KPK dalam mengungkap kasus-kasus besar.

"Banyak pihak termasuk politikus bilang KPK harus ungkap kasus big fish kan? Padahal untuk ungkap kasus itu butuh waktu dan sumber daya yang cukup besar, ini yang kami lihat tidak cukup konsisten," kata Febri.

Di samping itu, Febri mengaku heran lantaran korupsi sebagai tindak kejahatan luar biasa masa penyidikannya dibatasi sedangkan kejahatan lainnya tidak memiliki batasan waktu penyidikan.

"Nah ini yang kami lihat ada pertentangan antar satu dan yang lain. Sehigga kami menyimpulkan pada saat itu, ini ada salah satu poin yang sangat berisiko melemahkan KPK," kata Febri.

Baca juga: Sekjen PDI-P: 14 Oktober UU KPK Belum Berlaku, Gimana Mau Keluarkan Perppu?

Saat ditanya apakah kasus TPPU di atas dapat menjadi alasan bagi Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu KPK, Febri menyebut hal itu merupakan hak presiden.

"Kita serahkan saja pada Presiden karena meberbitkan atau tidak menerbutkan perppu itu merupakan otoritas dari Presiden," kata dia.

Diberitakan sebelumnya, KPK telah merampungkan berkas perkara TPPU Wawan dan dua kasus lainnya pada Selasa (8/10/2019) kemarin.

Proses penyidikan itu berlangsung selama lebih dari lima tahun karena KPK harus mengidentifikasi secara rinci proyek-proyek yang dikerjakan, dugaan keuntungan yang didapatkan secara tidak semestinya, aliran dana, penelusuran aset yang berada di sejumlah lokasi dan kerjasama lintas negara. 

 

Kompas TV Polisi mendalami pemeriksaan sejumlah orang di luar 10 tersangka yang sudah ditetapkan dalam kasus penyimpanan molotov dan bom ikan serta rencana teror yang melibatkan dosen IPB. Abdul Basith sebelumnya mengaku teledor menampung sejumlah orang di rumahnya hingga ia ditangkap polisi. Kini kita sudah terhubung dengan kuasa hukum Abdul Basith, Gufroni. #DosenIPB #AbdulBasith
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com