JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, ada undang-undang yang mengganjal seorang kepala negara membentuk formasi kementerian dalam sebuah kabinet yang bekerja secara efektif.
Undang-undang yang dimaksud, yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
"Kita lihat di Pasal 19 Ayat 1 dalam UU itu. Dalam hal perubahan pembubaran kementerian, Presiden diharuskan meminta pertimbangan kepada DPR," ujar Bayu dalam Konferensi Pers hasil Konferensi Nasional Hukum Tata Negara di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Rabu, (4/9/2019).
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara Pertanyakan Efektivitas Menteri Koordinator
Karena harus melalui DPR, seorang kepala negara menjadi tidak bisa leluasa dalam membentuk formasi kementerian yang sejalan dengan visi misi.
Ia menyoroti frasa 'pertimbangan' dalam ayat itu yang berpotensi menimbulkan perbedaan presepsi antara eksekutif dengan parlemen. Padahal, pembentukan kabinet merupakan kewenangan dari Presiden berdasarkan sistem presidensial.
"UU itu kemudian menjadi seakan-akan melibatkan DPR dalam banyak hal penyusunan kabinet," tutur dia.
Baca juga: Jokowi: Kabinet Itu Hak Prerogatif Presiden, Jangan Ikut Campur!
Bayu menuturkan, DPR RI memiliki tugas dan fungsi sebagai regulasi, legislasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), hingga anggaran pengawasan.
Dengan demikian, ia mendorong adanya perbaikan dari UU Kementerian Negara. Fokusnya, agar urusan nomenklatur kementerian diserahkan sepenuhnya kepada eksekutif.
"Pengurusan nomenklatur adalah urusan presiden, ya harusnya UU kementerian itu dilakukan perubahan kedepannya," lanjut dia.
Ke depan, Bayu berharap ada UU yang mengatur secara khusus keputusan yang dapat dijalankan oleh Presiden dalam mempergunakan hak pererogratif.
"UU Kepresidenan kita enggak punya, tapi kalau kementerian negara punya," pungkas Bayu.
Baca juga: Ini Tantangan yang Akan Dihadapi Menteri Muda jika Duduk di Kabinet Jokowi
Diberitakan, Konferensi Nasional Hukum Tata Negara yang diikuti oleh para pakar hukum tata negara di Indonesia mempertanyakan efektivitas menteri koordinator dalam kabinet presidensial.
salah seorang pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, para pakar hukum tata negara menarik sebuah kesimpulan bahwa tidak semua menteri koordinator itu berjalan efektif dalam mengimplementasikan kebijakan.
"Misalnya menko A kurang efektif, Menko B efektif betul, Menko C terlalu efektif. Kalau memang Presiden membutuhkan (menteri koordinator), enggak ada masalah sama sekali. Hanya harus dipikirkan betul apakah ada nilai tambahnya atau tidak," ujar Bivitri.
"Kalau misalkan tidak, barangkali tidak perlu diadakan. Intinya lihat efektivitasnya," lanjut wanita yang juga menjabat sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera itu.