JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengkritik ketentuan penerapan hukuman mati yang masih diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurut Erasmus, seharusnya pemerintah tidak lagi menerapkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk sanksi pidana.
"Pada dasarnya kami menilai bahwa pidana mati seharusnya dihapuskan sesuai dengan perkembangan bahwa banyak negara lain sudah menghapuskan hukuman mati," ujar Erasmus kepada Kompas.com, Rabu (28/8/2019).
Baca juga: Ketentuan yang Dipertahankan di RKUHP, Termasuk Hukuman Mati dan Penghinaan Presiden
Pasal 98 draf terbaru RKUHP menyatakan, pidana mati dijatuhkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.
Kemudian Pasal 100 ayat (1) mengatur hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Masa percobaan dapat diputuskan hakim jika terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, peran terdakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting atau adanya alasan yang meringankan.
Erasmus pun mengkritik ketentuan tersebut. Menurut dia, pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati merupakan hak setiap orang yang dijatuhi vonis pidana mati.
Dengan demikian, pemberian masa percobaan tidak boleh bergantung pada putusan hakim.
"Masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati harus merupakan hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim," kata Erasmus.
Baca juga: Hal Baru di RKUHP, Hormati Hukum Adat hingga Hakim Bisa Memberi Maaf
Sebelumnya, penerapan hukuman mati sebagai pidana alternatif juga memicu kritik dari kalangan aktivis HAM.
Mereka memandang, meskipun hukuman mati ditempatkan sebagai pidana yang bersifat khusus, namun esensinya tetap ada sebagai sebagai pidana pokok.
Ketentuan pidana mati dalam RKUHP dinilai bertentangan dengan sejumlah ketentuan HAM internasional. Indonesia sudah meratifikasi konvenan internasional tentang hak sipil dan politik.
Dalam konvenan tersebut dinyatakan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi.
Kemudian Indonesia meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.
Selain melanggar konvenan internasional, penerapan hukuman mati juga melanggar pasal 28 UUD 1946 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 28A UUD 1945 menyebutkan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Baca juga: DPR Jadwalkan Pengesahan RKUHP pada 24 September 2019
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadwalkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam Rapat Paripurna pada akhir September mendatang. Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).
Sekjen DPR Indra Iskandar mengatakan, saat ini draf RKUHP telah memasuki tahap finalisasi sebelum pengesahan di Rapat Paripurna.
"RKUHP itu malah sudah difinalisasi nanti di tanggal 24 september itu salah satu (RUU) yang sudah bisa diketok," ujar Indra saat ditemui di ruang kerjanya, gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.