JAKARTA, KOMPAS.com - Sofyan Basir diduga memfasilitasi pengusaha dalam kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau 1, saat ia masih menjabat sebagai Direktur Utama PT PLN Persero.
Sofyan memfasilitasi meski mengetahui ada transaksi suap kepada penyelenggara negara di balik proyek tersebut.
Salah satunya, untuk mempercepat kesepakatan proyek, Sofyan menandatangani dokumen dengan tanggal maju. Hal itu dijelaskan jaksa dalam surat dakwaan terhadap Sofyan Basir yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (24/6/2019).
Baca juga: Sofyan Basir Didakwa Membantu Transaksi Suap dalam Proyek PLTU Riau 1
"Terdakwa terlebih dahulu menandatangani PPA proyek PLTU Mulut Tambang Riau 1 dengan mencantumkan tanggal maju," ujar jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budhi Sarumpaet saat membacakan surat dakwaan.
Menurut jaksa, pada 29 September 2017, Sofyan menandatangani Power Purchased Agreement (PPA) dengan mencantumkan tanggal maju yaitu 6 Oktober 2017. Penandatanganan SPA itu sebelum ditandatanganinya Letter of Intent (LOI).
Hal itu dilakukan untuk mempercepat proses kesepakatan akhir proyek antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan Blackgold Natural Resources Ltd dan China Huadian Engineering Company Ltd.
Padahal, menurut jaksa, LOI No 1958/DAN.02.04/ DITDAN-2/ 2017 perihal LOI for the Development or Riau-1 MM CFSPP (2x300 MW) IPP Project baru ditandatangani oleh Supangkat Iwan Santoso selaku Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) dan Dwi Hartono selaku perwakilan perusahaan konsorsium pada 17 Januari 2018, dengan menggunakan tanggal mundur (back date) yaitu 6 Oktober 2017.
LOI tersebut di antaranya berisi masa kontrak 25 tahun dengan tarif dasar 5,4916 dollar Amerika.
Baca juga: Jaksa Sebut Sofyan Basir Tahu Sejak Awal soal Uang untuk Golkar dan Suami Eni
Serikat per kWh, dan segera membentuk perusahaan proyek yang akan menjadi pihak penjual berdasarkan PPA.
Sofyan didakwa telah memfasilitasi kesepakatan proyek meski mengetahui adanya transaksi suap.
Adapun, transaksi suap tersebut berupa pemberian uang Rp 4,7 miliar kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.