JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti berpendapat perbedaan antara putusan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi mengenai larangan calon anggota DPD rangkap jabatan dengan pengurus partai bisa berbahaya bagi sistem ketatanegaraan Indonesia.
Apalagi, lanjut Bivitri, jika kerusakan sistem ketatanegaraan ini rusak karena ambisi salah satu calon anggota DPD.
Dia mengacu pada Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odong yang memperkarakan larangan tersebut ke MA dan PTUN.
"Jangan sampai ambisi pribadi merusak sistim ketatanegaraan kita," kata Bivitri dalam sebuah diskusi di Jalan Wahid Hasyim, Minggu (18/11/2018).
Baca juga: Pengamat: KPU Jangan Ragu Ikuti Putusan MK
Bivitri khawatir, nantinya MA bisa membuat putusan tanpa memperhatikan putusan MK. Padahal, kewenangan antara MA dan MK juga berbeda.
MA, lanjut dia, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sedangkan MK menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar.
Menurut Bivitri, putusan MK soal larangan calon anggota DPD rangkap jabatan sebagai pengurus parpol berkaitan dengan UUD 1945 terkait semangat awal pembentukan DPD.
"Kalau sudah fix putusan MK itu lalu kemudian diinterpretasikan lagi oleh MA. Ini yang akan merusak sistim ketatanegaraan kita," ujar Bivitri.
Sementara itu, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil membandingkan putusan MK tentang syarat calon anggota DPD dengan putusan tentang verifikasi faktual pada awal tahun ini.
Baca juga: Opsi KPU untuk Jalan Tengah Polemik Pencalonan OSO sebagai Anggota DPD
Fadli mengatakan, ketika itu MK memutuskan semua parpol harus mengikuti verifikasi faktual agar bisa menjadi peserta pemilu.
"Putusan itu juga keluar di tengah tahapan yang sudah dilakukan. Tetapi ketika itu semua partai patuh melaksanakan, tidak ada perdebatan seperti ini," ujar Fadli.
Oleh karena itu, Fadli berpendapat sebenarnya tidak ada yang harus diperdebatkan soal putusan MK ini. Calon anggota DPD yang berstatus sebagai pengurus partai harus mundur dari partainya terlebih dahulu.
"Jadi aneh menurut saya, seorang bakal calon anggota DPD, bisa menggoyang sistem pencalonan yang sudah jelas dan tidak perlu ditafsirkan ke mana-mana lagi," ujar Fadli.
"Negara tidak boleh kalah oleh manuver satu orang yang begitu ambisi jadi calon anggota DPD," tambah dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.