Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Pemerintahan Jokowi Itu Seolah-olah Tidak Peduli dengan Pemberantasan Korupsi..."

Kompas.com - 22/06/2018, 08:36 WIB
Moh Nadlir,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Penolakan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk mengundangkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi ikut Pileg 2019 dianggap merusak citra positif Presiden Joko Widodo.

Hal itu diungkapkan Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai ketika dihubungi, Jumat (22/6/2018).

"Sayang sekali kalau PKPU itu (terus) ditolak dan tidak segera diundangkan, akan membuat citra pemerintahan Jokowi itu seolah-olah tidak peduli dengan pemberantasan korupsi," kata Haris.

Baca juga: Penolakan Kemenkumham terhadap PKPU Kontraproduktif bagi Pemerintahan Jokowi

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris KOMPAS.com/Kristian Erdianto Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris

Padahal, seharusnya Kemenkumham tugasnya hanya mengundangkan PKPU tersebut menjadi peraturan perundang-undangan dalam lembaran negara dan berita negara.

"Jadi tidak tepat kalau itu ditolak, tidak segera (diudangkan) oleh Kemenkumham," tegas Haris.

Apalagi, PKPU tersebut penting dan dibutuhkan sebagai wujud komitmen pemerintah melalui penyelenggara Pemilu untuk menghadirkan calon-calon wakil rakyat yang bersih pada Pileg 2019 mendatang'.

Baca juga: ICW Minta Kemenkumham Segera Sahkan PKPU soal Larangan Eks Koruptor Jadi Caleg

"Itu komitmen untuk menegakkan pemerintahan yang bersih, sebab pemerintahan yang bersih itu harus dimulai dengan kandidat yang bersih. Jadi penting sekali, walaupun di dalam Undang-undang Pemilu belum diwadahi secara eksplisit," terang Haris.

Penolakan Kemenkumham untuk segera memproses PKPU tersebut pun dianggap dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu di Tanah Air.

"Kalau ditunda terus pengundangan PKPU-nya kan menimbulkan ketidakpastian hukum, pemerintahan dirugikan karena tidak memfasilitasi tahapan pemilu sesuai jadwal," kata Haris.

Baca juga: Cegah Penyanderaan PKPU Terulang, Permen Diusulkan Dihapus

Sebelumnya, Kemenkumham menegaskan, PKPU tersebut tak juga diundangkan menjadi peraturan perundang-undangan karena materinya bertentangan.

"Materinya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan peraturan yang lebih tinggi. Itu pangkal masalahnya," kata Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana melalui pesan singkatnya, Kamis (21/6/2018).

Kemenkumham memahami setiap Kementerian/Lembaga punya wewenang dan dasar hukum untuk membuat regulasi. Hanya, regulasi itu tak boleh bertentangan dengan putusan MK dan peraturan yang lebih tinggi.

Baca juga: Refly: Kemenkumham Tak Perlu Ikut Campur Substansi PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg

"Lah terus kami menyelenggarakan pemerintahan bagaimana? Pasti akan kacau karena dengan dalih 'kami punya kewenangan untuk buat aturan'. Tapi dengan sengaja buat aturan yang menabrak putusan MK atau peraturan yang lebih tinggi," tegas Widodo. 

Hak mantan koruptor

Presiden Joko Widodo menegaskan, mantan narapidana kasus korupsi punya hak untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif. Hal ini disampaikan Jokowi menanggapi rencana Komisi Pemilihan Umum melarang mantan napi korupsi untuk menjadi caleg dalam Pemilu 2019. "Kalau saya, itu hak. Hak seseorang berpolitik," kata Jokowi di Jakarta, Selasa (29/5/2018). Jokowi mengatakan, konstitusi sudah menjamin untuk memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk mantan napi kasus korupsi. Baca juga: Pernah Dibui, Taufik Tak Sejutu Mantan Napi Korupsi Dilarang Nyaleg Jokowi mengakui adalah wilayah KPU untuk membuat aturan. Namun, Jokowi menyarankan agar KPU melakukan telaah lagi. "Silakan lah KPU menelaah. KPU bisa saja mungkin membuat aturan. Misalnya boleh ikut tapi diberi tanda 'mantan koruptor'," kata Jokowi. Niat KPU melarang mantan napi kasus korupsi untuk menjadi caleg ini juga sebelumnya mendapat penolakan dari DPR, Kementerian Dalam Negeri hingga Bawaslu. Namun, KPU menegaskan akan tetap membuat aturan tersebut dan memasukkannya dalam Peraturan KPU.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jokowi Tegaskan Mantan Napi Koruptor Punya Hak jadi Caleg", https://nasional.kompas.com/read/2018/05/29/18143281/jokowi-tegaskan-mantan-napi-koruptor-punya-hak-jadi-caleg.
Penulis : Ihsanuddin
Editor : Sabrina Asril

Presiden Jokowi sebelumnya menegaskan, mantan narapidana kasus korupsi punya hak untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif.

"Kalau saya, itu hak. Hak seseorang berpolitik," kata Jokowi di Jakarta, Selasa (29/5/2018), mengomentari polemik aturan larangan mantan koruptor jadi caleg.

Baca juga: Jokowi Tegaskan Mantan Napi Koruptor Punya Hak jadi Caleg

Jokowi mengatakan, konstitusi sudah menjamin untuk memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk mantan napi kasus korupsi.

Jokowi mengakui adalah wilayah KPU untuk membuat aturan. Namun, Jokowi menyarankan agar KPU melakukan telaah lagi.

"Silakan lah KPU menelaah. KPU bisa saja mungkin membuat aturan. Misalnya boleh ikut tapi diberi tanda 'mantan koruptor'," kata Jokowi.

Kompas TV Kedatangan KPU ini untuk mendesak Menkumham untuk segera mengesahkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Hormati Ganjar, Waketum Gerindra: Sikap Oposisi Bukan Pilihan yang Salah

Hormati Ganjar, Waketum Gerindra: Sikap Oposisi Bukan Pilihan yang Salah

Nasional
Ganjar Pilih di Luar Pemerintahan, Bamsoet: Boleh, tapi Kita Bekerja Gotong Royong

Ganjar Pilih di Luar Pemerintahan, Bamsoet: Boleh, tapi Kita Bekerja Gotong Royong

Nasional
Hanya Ada 2 Suplier Indonesia yang Pasok Perangkat untuk Apple, Jokowi: Memprihatinkan

Hanya Ada 2 Suplier Indonesia yang Pasok Perangkat untuk Apple, Jokowi: Memprihatinkan

Nasional
Jokowi Resmikan Indonesia Digital Test House, Anggarannya Hampir 1 Triliun

Jokowi Resmikan Indonesia Digital Test House, Anggarannya Hampir 1 Triliun

Nasional
KPK Didesak Usut Pemberian THR ke Anggota DPR dari Kementan, Panggil Bersaksi dalam Sidang

KPK Didesak Usut Pemberian THR ke Anggota DPR dari Kementan, Panggil Bersaksi dalam Sidang

Nasional
Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Nasional
KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

Nasional
Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com