JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkapkan, ada tren penurunan antusiasme masyarakat yang ingin jadi calon legislatif pada Pemilu 2019.
Menurut Titi, ada sejumlah faktor yang menciptakan kondisi tersebut, mulai dari kompetisi yang tak sehat hingga mahar politik.
"Itu bisa disebabkan oleh beberapa hal, kalau dia pernah nyaleg, biasanya dia trauma terhadap proses kompetisi sebelumnya yang dianggap terlalu bebas, dan tidak memberi proteksi kepada calon," kata Titi di gedung Bawaslu, Jakarta, Minggu (10/6/2018).
Menurut Titi, parpol seringkali tak memberikan jaminan perlindungan yang kuat. Para calon dibiarkan bertarung bebas tanpa kawalan dari parpol. Hal itu membuat mereka berpikir ulang untuk maju menjadi caleg.
"Jadi faktor paling dominan yang membuat mereka kurang antusias untuk maju ya ongkos politik mahal, persaingan tidak sehat, kompetisi terlalu bebas, termasuk kecurangan ya," kata dia.
Baca juga: KPU, Bawaslu, dan Parpol Diminta Perkuat Proteksi bagi Caleg Perempuan
Titi berharap parpol kembali ke jalurnya sebagai alat perjuangan ideologis, visi, misi partai.
Oleh karena itu, proses rekrutmen calon diharapkan berbasis kaderisasi, bukan transaksi politik tertentu. Dengan demikian, kader merasa memiliki ikatan untuk mendukung cita-cita partai.
Ia juga menilai tantangan Pemilu 2019 menjadi lebih berat. Sebab, pileg dan pilpres dilakukan secara bersamaan.
Parpol harus mempertahankan eksistensi partai sekaligus menjaga elektabilitas capres pilihannya. Kondisi itu menciptakan tren masyarakat menentukan pilihannya berdasarkan capres yang didukung
"Misalnya, Partai Nasdem mendukung Jokowi, di Sumatera Barat, Jokowi kan suaranya dulu kalah, tidak dominan, maka eksistensi parpol bisa berpengaruh keterpilihannya, di saat sama masyarakat cenderung memilih parpol yang mengusung capres sesuai dengan keinginan mereka," kata Titi.
Baca juga: Antusiasme Perempuan Jadi Penyelenggara Pemilu Dinilai Masih Rendah
Titi juga menyoroti maraknya ujaran kebencian dan hoaks jelang pemilihan sebagai strategi pemenangan. Ia menilai kedua hal tersebut bisa menciptakan persaingan yang tidak sehat, karena menarik dukungan dengan menjatuhkan pihak lain.
"Karena kompetensinya semakin menentukan dan itu menjadi titik balik menang dan kalah. Jangan sampai itu memicu para kontestan memakai isu negatif, kabar bohong, ujaran kebencian sebagai strategi pemenangan," tutur Titi.
Titi berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa mengantisipasi pola kompetisi yang semakin sengit. Di sisi lain, jajaran KPU dan Bawaslu juga harus menjaga profesionalisme dan integritasnya.
"Karena terkadang ada upaya untuk memengaruhi. Kedua, karena beban penyelenggara sangat berat, KPU dan Bawaslu perlu memastikan profesionalisme sebagai penyelenggara pemilu siap menjaga standar kualitas penyelenggaraan pemilihan," kata dia.
Langkah-langkah itu dilakukan untuk menjamin perlindungan dan meningkatkan kepercayaan publik untuk mau berkontribusi dalam ruang-ruang politik.