Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fadli Zon Minta Larangan Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg Dikaji Ulang

Kompas.com - 02/04/2018, 20:52 WIB
Kristian Erdianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengkaji kembali rencana penerbitan larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg).

Fadli berpendapat bahwa larangan tersebut jangan sampai melanggar hak konstitusional setiap orang untuk memilih dan dipilih.

"Menurut saya perlu dikaji karena kan proses menjadi UU melalui proses panjang. Selain itu karena hak untuk dipilih dan memilih adalah hak yang dijamin konstitusi. Jangan kemudian karena ada ide baru atau hal yang kemudian menjadi perhatian publik (jadi melanggar hak konstitusional)," ujar Fadli saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/4/2018).

(Baca juga: Usul Mantan Napi Korupsi Dilarang Mencalonkan Diri Berkaca dari Pilkada)

"Tentu prinsipnya kita tak ingin orang yang nantinya menduduki jabatan publik adalah orang yang mungkin pernah melakukan satu kesalahan sehingga tak beri keteladanan," ucapnya.

Menurut Fadli, KPU sebaiknya mengacu pada Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam membuat Peraturan KPU (PKPU).

Pasal 240 ayat 1 UU Pemilu menyatakan calon legislator tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

"Menurut saya memang perlu mengacu pada undang-undang karena hak untuk dipilih dan memilih adalah hak yang dijamin konstitusi," kata Fadli.

Fadli pun meminta KPU melakukan pembahasan bersama DPR soal pembuatan PKPU tersebut.

Ia menilai pembahasan tersebut dapat mengantisipasi beda tafsir pasal 240 UU Pemilu.

"Kita harus ada satu kajian mendalam jangan sampai ini merugikan mereka yang ingin mencalonkan," ucapnya.

(Baca juga: KPU Berharap DPR Revisi Undang-undang Pemilu soal Pencalegan)

 

"Idealnya menurut saya mereka yang sudah jadi terdakwa dan terbukti bukan dari kriminalisasi, tak perlu. Tapi kita juga harus melihat hak dan keadilan orang yang dicalonkan," kata Wakil Ketua DPR itu.

Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan mengatur larangan mengenai mantan narapidana kasus korupsi untuk ikut dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2019.

Komisioner KPU RI Hasyim Asyari mengatakan, pelarangan itu akan dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Pileg mendatang untuk pertama kalinya.

"Sebenarnya di undang-undang tidak ada, mantan narapidana kasus korupsi dilarang nyaleg, di PKPU pencalonan mau kami masukkan," kata Hasyim di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis (29/3/2018).

Menurut Hasyim, mantan narapidana kasus korupsi tidak layak menduduk jabatan publik. Alasannya, karena telah berkhianat terhadap jabatan sebelumnya. 

(Baca juga: Soal Larangan Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg, PAN Minta KPU Ikuti UU)

Selain itu, semua calon anggota legislatif yang ikut Pemilu Legislatif 2019 juga menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Kewajiban itu akan diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Pileg mendatang untuk kali pertama.

Hasyim mengatakan, LHKPN tersebut nantinya diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Hasyim, nantinya lembaga anti-rasuah akan memberikan bukti bahwa caleg tersebut telah menyerahkan LHKPN. Bukti tersebut harus diserahkan kepada KPU, sebagai salah satu dokumen yang harus disertakan ketika pendaftaran calon.

Kompas TV Warga kota Serang yang belum memiliki KTP elektronik terancam tidak akan mempunyai hak suara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Nasional
Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

Nasional
Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Nasional
Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Nasional
Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat 'Geo Crybernetic'

Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat "Geo Crybernetic"

Nasional
Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

Nasional
Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya sebagai Cagub DKI Jakarta

Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya sebagai Cagub DKI Jakarta

Nasional
PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

Nasional
SYL Klaim Tak Pernah 'Cawe-cawe' soal Teknis Perjalanan Dinas

SYL Klaim Tak Pernah "Cawe-cawe" soal Teknis Perjalanan Dinas

Nasional
Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Nasional
Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Nasional
Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com