JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan perlu adanya upaya bersama Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangani pelanggaran pidana selama proses Pemilihan Kepala Daerah serentak 2018 berjalan.
Kerja sama tiga lembaga itu perlu karena pelanggaran hukum menjelang Pilkada cenderung semakin besar karena para pasangan calon maupun tim sukses berlomba-lomba menarik perhatian masyarakat, apapun caranya.
"Mereka cenderung menghalalkan segala cara, mulai menyalahgunakan kekuasaan, mengumbar janji, dan menggunakan uang agar dapat dukungan," ukar Prasetyo dalam Rakornis Polri di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Selasa (6/3/2018).
Strategi seperti itu, kata Prasetyo, hanya akan menciderai praktik demokrasi. Di samping itu, politik uang yang hampir selalu dilakukan saat Pilkada berpotensi menimbulkan korupsi di kemudian hari.
Baca juga : Mahalnya Ongkos Politik...
Prasetyo mengatakan, yang selama ini terjadi, Pilkada menjadi ajang elite politik di tingkat daerah maupun nasional untuk unjuk kekuatan.
"Pilkada tidak hanya sebagai arena kontestasi demokrasi, melainkan dianggap momen meraih gengsi dan mengejar syahwat memperoleh kekuasaan," kata Prasetyo.
Prasetyo mengatakan, pemilihan umum digambarkan sebagai prosesi yang sangat mahal. Kemudian, timbul anggapan bahwa hanya calon kepala daerah yang sumber keuangannya kuat yang mampu memenangkan kontestasi tersebut. Hal tersebut akhirnya memicu calon kepala daerah untuk mencari berbagai cara demi memenuhi kebutuhan finansial.
Potensi korupsi terbesar dilakukan oleh calon petahana. Prasetyo mengatakan, mereka bisa dengan mudah menyalahgunakan kekuasaan dan menyelewengkan anggaran daerah.
Baca juga : Petahana Maju Pilkada, Ratusan Daerah Dinilai Rawan Korupsi
"Hal ini didorong keinginan kuat untuk mempertahankan dan meraih kembali kekuasaan yang selama ini dipegangnya," kata Prasetyo.
Modus tersebut akan membuat pilkada hanya melahirkan pejabat publik yang bermental koruptif. Hal ini juga akan berdampak pada kualitas pemerintahan ke depan, di mana rentan melakukan penyelewengan, penyalahgunaan wewenang, dan merugikan keuangan negara.
Di samping potensi korupsi, isu-isu provokatif juga kerap dijadikan senjata oleh pasangan calon maupun tim sukses saat pemilu atau pilkada. Termasuk membawa-bawa isu suku, agama, ras, dan antargolongan serta pemberitaan hoaks.
"Hanya dengan maksud menjatuhkan lawan politik. Hal semcam ini tanggung jawab kita, harus mampu mencegah, menanggulangi, dan menanganinya," kata Prasetyo.