JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto didakwa menyalahgunakan kewenangan selaku anggota DPR dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik.
Perbuatan Setya Novanto itu menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
"Terdakwa melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum," ujar jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi Irene Putrie saat membaca surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12/2017).
Menurut jaksa, Setya Novanto, yang kini menjabat Ketua DPR RI itu, secara langsung atau tidak langsung mengintervensi proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP tahun 2011-2013.
Baca: Setelah Drama di Awal Sidang, Dakwaan Setya Novanto Akhirnya Dibacakan
Penyalahgunaan kewenangan itu dilakukan Setya Novanto untuk menguntungkan diri sendiri, serta memperkaya orang lain dan korporasi.
Jaksa menyebutkan, sejak awal proyek e-KTP telah diatur untuk menggunakan anggaran rupiah murni yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tujuannya, agar pencairan anggaran membutuhkan persetujuan DPR RI.
Menurut jaksa, mereka membuat kesepakatan bahwa Andi akan menjadi pihak yang menyediakan fee bagi anggota DPR. Pemberian fee tersebut untuk memperlancar persetujuan anggaran.
Selanjutnya, Andi, yang dekat dengan Setya Novanto, mengajak Irman untuk menemui Novanto.
Dalam surat dakwaan, jaksa KPK menguraikan sejumlah pertemuan yang dihadiri pengusaha dan pejabat Kemendagri.
Baca: Dakwaan Dibacakan, Setya Novanto Terus Menunduk dan Tutupi Wajahnya
Dalam pertemuan itu, Setya Novanto menyatakan kesiapannya untuk mendukung terlaksananya proyek e-KTP dan memastikan usulan anggaran Rp 5,9 triliun disetujui DPR.
Namun, Novanto meminta agar fee sebesar 5 persen bagi anggota DPR lebih dulu diberikan oleh para pengusaha yang ikut dalam proyek.