JAKARTA, KOMPAS.com - Saksi ahli dari Partai Idaman Bambang Eka Cahya Widodo berpendapat, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mempertimbangkan kesenjangan digital (digital divided) saat mewajibkan partai politik (parpol) mengisi data lewat Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).
Hal itu disampaikan Bambang saat menjadi saksi ahli dalam sidang pemeriksaan lanjutan, pelanggaran administratif pemilu untuk perkara nomor 002/ADM/BWSL/PEMILU/X/2017 yang diajukan Partai Idaman, Jumat (11/10/2017).
"Berkaitan dengan sistem informasi, KPU juga perlu mempertimbangkan aspek digital divided," kata Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI periode 2008-2012 tersebut.
Baca juga: KPU Pertanyakan Produk Sidang Bawaslu Terkait Calon Peserta Pemilu
Menurut Bambang, sangat besar kemungkinan terjadi kesenjangan digital di wilayah Indonesia yang sangat luas.
Di sisi lain, lemahnya sosialisasi penyelenggara pemilu kepada calon peserta pemilu semakin memperburuk kondisi ini.
"Ketika penyelenggara membebankan input data kepada calon peserta pemilu ditambah lemahnya pengetahuan tentang sistem informasi semakin memperburuk kesenjangan digital ini," kata dia.
Baca: Soal Sipol Bertentangan dengan UU Pemilu, KPU Sebut Punya Kewenangan Susun PKPU
Bambang menambahkan, seharusnya ada pelatihan bagi operator maupun admin parpol sehingga dapat melakukan proses input data maupun unggah dokumen seperti yang diharapkan.
Partai Idaman bersama 12 parpol lain dinyatakan oleh KPU tidak memenuhi kelengkapan dokumen sebagai syarat calon peserta Pemilu 2019.
Dalam sidang Bawaslu sebelumnya, Partai Idaman mempersoalkan Sipol yang amburadul dan menjadi penentu lolos atau tidaknya parpol.