JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pembinaan Penyidikan Polisi Militer (POM) TNI Bambang Sumarsono mengakui pihaknya tidak membentuk tim koneksitas dalam mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AugustaWestland 101 bersama Komisi Pemberantasan Korupsi.
Hal ini disampaikan Bambang saat dihadirkan KPK sebagai saksi fakta dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/11/2017).
Praperadilan ini diajukan oleh Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi AW 101.
(Baca juga : POM TNI: KPK Berwenang Usut Kasus Helikopter AW 101)
Pengacara Irfan, Maqdir Ismail, awalnya bertanya kepada Bambang terkait tim koneksitas yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer.
Pasal 198 ayat (2) UU tersebut mewajibkan adanya tim yang terdiri dari Polisi Oditur Militer dan penyidik dalam lingkungan peradilan umum apabila perkara juga melibatkan masyarakat umum.
"Sepanjang yang saudara ketahui dalam perkara ini, apakah pelaksanaan ketentuan tim koneksitas sudah dilaksanakan apa belum?" tanya Maqdir.
Bambang mengakui bahwa ketentuan tersebut belum dilaksanakan.
"Tidak melaksanakan," jawab Bambang singkat.
(Baca juga : KPK Tegaskan Kewenangan Bersama TNI Usut Kasus Pembelian Helikopter AW 101)
Maqdir juga bertanya apakah UU 31/1997 yang mengatur tim koneksitas sudah pernah mengalami perubahan.
Bambang menjawab bahwa UU itu belum pernah berubah.
"UU 31 ya masih seperti yang dulu," kata dia.
Kendati mengakui tak menjalankan ketentuan terkait tim koneksitas, namun Bambang menekankan bahwa POM TNI sudah berulangkali berkoordinasi dengan KPK dalam kasus dugaan korupsi helikopter AW 101 ini.
"Kami menanyakan ke penyidik itu sudah dilakukan rapat koordinasi," ucap Bambang.
Irfan Kurnia Saleh mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan dia sebagai tersangka oleh KPK.
(Baca juga : Pembelian Heli AW 101 Diduga Rugikan Negara Rp 220 Miliar)
Salah satu aspek yang dipersoalkan dalam gugatan praperadilan adalah mekanisme koneksitas dalam penanganan perkara yang diduga melibatkan sipil dan militer.