Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Novanto Baru Beralasan Pemeriksaannya Harus Seizin Presiden?

Kompas.com - 07/11/2017, 20:11 WIB
Rakhmat Nur Hakim

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, Fredrich Yunadi, mengakui baru kali ini kliennya beralasan tak bisa menghadiri pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan dalih Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).

Fredrich menilai, pemeriksaan kliennya yang berstatus anggota DPR harus seizin Presiden bila mengacu pada Undang-Undang MD3. Ia mengatakan, alasan itu diberikan olehnya sebagai saran kepada Novanto, dan lantas diterima oleh kliennya.

"Banyak teman-teman tanya saya. 'Loh Pak, kenapa enggak dari dulu-dulu kok enggak pakai gitu, Pak?' Loh sekarang saya tanya, dulu itu pengacaranya sopo?" kata Fredrich, saat ditemui di kantornya, Gandaria, Jakarta Selatan, Selasa (7/11/2017).

"Begitu kan, siapa pengacaranya waktu itu? Bukan saya kan? Ya sudah jawabannya cukup itu dong," ujar dia.

(Baca juga: Mantan Hakim MK: KPK Tak Harus Minta Izin Presiden Periksa Novanto)

Fredrich mengklaim bahwa dirinya lebih jeli dan teliti dalam melihat amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Pasal 224 Ayat 5 dan Pasal 245 Ayat 1 Undang-Undang MD3, dibanding kuasa hukum Novanto sebelumnya.

Kuasa Hukum Setya Novanto Fredrich Yunadi di kantornyaKompas.com/Rakhmat Nur Hakim Kuasa Hukum Setya Novanto Fredrich Yunadi di kantornya
Karena itulah, ia bisa menyarankan agar Novanto tak hadir dalam pemeriksaan KPK sebelum ada izin Presiden.

"Kenapa tanya saya lagi? Ya enggak usah heran lah. Setiap orang kan punya kelebihan masing-masing, kan begitu, kan. Saya tidak pernah mengatakan saya hebat tapi saya jeli, saya teliti," ucap dia.

(Baca juga: Wapres JK: Pemeriksaan Novanto di KPK Tak Butuh Izin Presiden)

Novanto yang juga menjabat Ketua Umum Partai Golkar kembali tak menghadiri pemeriksaan dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (6/11/2017).

Sedianya, kemarin Novanto dijadwalkan untuk diperiksa sebagai saksi tersangka proyek pengadaan e-KTP Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.

Ia beralasan sebagai anggota DPR pemanggilannya oleh KPK butuh izin dari Presiden sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).

Sebelumnya, saat berstatus tersangka dalam proyek pengadaan e-KTP, ia tak hadir dalam pemeriksaan karena sakit.

Akan tetapi, pakar hukum tata negara Refly Harun menilai Ketua DPR RI Setya Novanto melakukan blunder.

(Baca juga: Jadikan UU MD3 Alasan Mangkir Panggilan KPK, Novanto Dinilai Lakukan Blunder)

Sebab, pada Pasal 245 Ayat (3) Huruf c disebutkan bahwa ketentuan pada Ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus.

"Korupsi adalah tindak pidana khusus bahkan dilabeli sebagai extraordinary crime. Jadi tidak ada alasan bagi Ketua DPR untuk mangkir dari pemeriksaan KPK," kata Refly di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/11/2017).

Ia menilai, pihak Novanto kurang cermat karena hanya melihat satu ayat pada pasal tersebut.

"Saya kira sangat blunder dan menurut saya staf-stafnya tidak membaca ini secara cermat," ujar Refly.

Kompas TV KPK mengakui adanya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru pada kasus korupsi KTP elektronik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com