JAKARTA, KOMPAS.com − Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi tetap harus meminta izin kepada Presiden Joko Widodo jika ingin memanggil dan memeriksa Ketua DPR Setya Novanto.
Menurut dia, hal itu merupakan etika penyelenggara negara yang harus dihormati dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
"KPK harus terikat hukum lain jangan kemudian kalau ada hukum lain, kami lex specialist sampai konstitusi pun dilanggar karena bilang kami lex specialist jadi itu enggak bisa," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Adapun aturan mengenai pemanggilan anggota DPR tersebut pernah diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Baca: Wapres JK: Pemeriksaan Novanto di KPK Tak Butuh Izin Presiden
Ketentuan itu tercantum pada Pasal 245 Ayat (1) UU No 17/2014 tentang UU MD3 yang mengatur, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".
Pada surat yang dikirimkan kepada KPK, DPR menyatakan bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015, wajib hukumnya setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden terlebih dahulu.
Namun, pada Pasal 245 Ayat (3) Huruf c disebutkan bahwa ketentuan pada Ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus.
Meski demikian, Fahri menilai, ketentuan untuk meminta persetujuan presiden tetap harus diberlakukan.
"Tapi yang menyangkut pejabat yang ada aturannya secara teknis mengatur cara kita untuk berhubungan dengan dia dan karena itu kemudian ketentuan ini tetap harus diberlakukan. Karena waktu kita membatalkan atau kita membuat ketentuan izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan itu, izin presidennya berlaku waktu itu," ujar Fahri.
Baca juga: Ini Isi Surat DPR untuk KPK Terkait Pemanggilan Novanto
"Karena itulah kemudian harus kembali kepada izin dari Presiden," lanjut dia.
Fahri berpendapat, tindakan KPK telah merusak standar etika bekerja lembaga negara. Menurut dia, ada banyak pejabat negara yang dipanggil KPK, tetapi tak semuanya diekspos seperti Novanto.
"Karena kan diatur-atur siapa yang mau dihancurin yang sudah kadung hancur namanya kayak Pak Nov itu paling enak. Dibejek aja terus sama KPK kan karena kalau ngebejek-bejek Novanto kayaknya enggak ada risiko nih," kata Fahri.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Ketua DPR RI Setya Novanto, Senin (6/11/2017), untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Merespons panggilan ini, DPR mengirimkan surat kepada KPK yang menyatakan bahwa pemanggilan Novanto perlu izin dari Presiden.
KPK sebelumnya memanggil Novanto untuk diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi bagi Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, salah satu tersangka kasus e-KTP.
Nama Setya Novanto muncul dalam persidangan kasus e-KTP, untuk terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong, Jumat (3/11/2017).