JAKARTA, KOMPAS.com - Farida Saleh, salah seorang warga Jemaah Ahmadiyah Depok mengungkapkan peristiwa penyegelan masjid Al-Hidayah milik warga Ahmadiyah di Sawangan, Depok, Jawa Barat.
Farida menyampaikannya saat menjadi saksi dalam sidang uji materi atas UU No 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (23/10/2017).
Menurut Farida, sebelum penyegelan, interaksi warga Ahmadiyah dengan warga sekitar berlangsung harmonis.
Seperti masjid umumnya, Masjid Al-Hidayah digunakan untuk beribadah, mengaji, dan kegiatan sosial warga Ahmadiyah bersama masyarakat.
"Kegiatan sosial itu semua kami lakukan sebagai perwujudan prinsip kami, yaitu love for all, hatred for none. Cinta untuk semua, tak ada benci bagi siapapun," ujar Farida.
Baca: Di Sidang Uji Materi Penodaan Agama, Warga JAI Cerita soal Tindakan Diskriminatif
Namun situasi tersebut berubah setelah terjadi penyegelan secara tiba-tiba pada tahun 2011 oleh Pemerintah Kota Depok.
Penyegelan terhadap Masjid Al-Hidayah telah terjadi tujuh kali dalam kurun waktu 2011-2017.
Penyegelan tersebut mengacu pada Fatwa MUI Nomor 11 tahun 2005 tentang aliaran Ahmadiyah yang sesat dan tidak diperbolehkan di Indonesia, SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut dan anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia.
Selain itu, ada juga Peraturan Gubernur Jabar nomor 12 tahun 2011 tentang larangan kegiatan Jemaah Ahmadiyah di daerah Jawa Barat dan Peraturan pelarangan Ahmadiyah nomor 9 tahun 2011 tentang larangan kegiatan Ahmadiyah di Kota Depok.
"Seluruh pintu dan jendela masjid dipaku, ditutup dengan palang kayu sehingga tidak ada lagi akses masuk ke dalam masjid. Kejadian ini mengejutkan kami. Kami tidak mengerti atas tindakan aparat pemerintah yang sewenang-wenang. Bukankah seharusnya mereka melindungi kami," kata Farida.
Baca: Komnas HAM: PNPS Penodaan Agama Melanggar HAM Warga Ahmadiyah
Akibat penyegelan tersebut, lanjut Farida, warga Ahmadiyah kesulitan untuk beribadah dan melakukan kegiatan keagamaan lainnya.
Seluruh kegiatan keagamaan yang biasa dilakukan di dalam masjid, kini terpaksa dilakukan di halaman belakang masjid yang kondisinya tidak layak sebagai tempat ibadah.
Mereka terpaksa beribadah di tempat sembahyang yang letaknya di dekat toilet. Saat hujan, tempat bersujud pun dipenuhi dengan genangan air.