Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli Anggap KPK Tak Bisa Tetapkan Tersangka Bersamaan dengan Dimulainya Penyidikan

Kompas.com - 26/09/2017, 22:42 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Acara Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, dihadirkan sebagai ahli dalam sidang praperadilan yang diajukan Ketua DPR RI Setya Novanto.

Chairul ditanya soal proses penyelidikan hingga penetapan tersangka.

Chairul mengatakan, penetapan tersangka baru bisa dilakukan di tengah atau akhir proses penyidikan.

Sementara dalam proses penyelidikan, penyelidik hanya mencari alat bukti untuk mencari peristiwa pidana.

"Saya memandang dalam penyelidikan KPK sudah menentukan pelakunya. Tapi jangan ditetapkan dulu. Nanti tunggu proses penyidikan," ujar Chairul dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/9/2017).

Chairul mengatakan, dalam proses penyelidikan, KPK mencari dua alat bukti yang cukup untuk meningkatkannya ke tahap penyidikan.

 

KPK memiliki tugas berat dibandingkan penyelidik pada penegak hukum lain karena tidak punya kewenangan penghentian penyidikan. Namun, alat bukti tersebut tidak cukup menjadi dasar untuk menetapkan tersangka.

KPK harus mencari alat bukti baru di tingkat penyidikan untuk menetapkan tersangka.

"Bisa ditetapkan tersangka kalau sudah jadi alat bukti di penyidikan. Di penyelidikan namanya berita acara interview, di penyidikan BAP saksi," kata Chairul.

 

(Baca juga: Pengacara Novanto Bawa Laporan 10 Tahun Kinerja KPK yang Diperoleh dari Pansus DPR)

Di samping itu, Chairul berpendapat bahwa calon tersangka sudah harus diperiksa sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2014 terkait frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup".

Chairul mengatakan, sebenarnya memeriksa calon tersangka di luar lingkup dua alat bukti yang cukup. Pemeriksaan tersebut lebih pada prosedur yang harus dijalani untuk pemenuhan hak asasi manusia orang tersebut.

"Hanya memberikan kesempatan calon tersangka untuk menjelaskan perkara menurut versinya. Ini sebagai bagian prosedur penetapan tersangka, bukan kaitan dengan alat bukti. Tidak ada bukti dari keterangan calon tersangka," kata Chairul.

Setya Novanto mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka oleh KPK pada kasus korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu.

Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP.

Sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, ia diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.

Selain itu, ia diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.

Kompas TV Sidang diagendakan berlangsung Selasa (26/09) di PN Jakarta Selatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com