JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pidana dari Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi hanya bisa mengangkat penyidik dan penyelidik dari polisi dan kejaksaan.
Hal itu tertera dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang KPK.
Menurut Romli, pasal tersebut tidak menyebutkan bahwa KPK bisa mengangkat penyelidik dan penyidik di luar instansi tersebut.
"Tidak ada kalimat KPK bisa mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri," ujar Romli dalam sidang praperadilan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/9/2017).
Baca: KPK Permasalahkan Romli Atmasasmita Jadi Ahli Praperadilan Novanto
Selain itu, muncul putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa KPK berwenang mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri di luar kepolisian dan kejaksaan.
Namun, Romli menganggap putusan MK tidak mengikat. Oleh karena itu, Romli mengusulkan agar revisi UU KPK dilakukan agar pengangkatan penyidik independen sah secara hukum.
"Kalau mau angkat sendiri, harus diganti undang-undangnya, revisi UU KPK. Tapi kan KPK tidak mau revisi," kata Romli.
"Kalau belum ada perubahan apapun di Undang-Undang KPK, tidak mungkin bisa diterapkan putusan MK," lanjut dia.
Tim pengacara Ketua DPR RI Setya Novanto sebelumnya mempermasalahkan status penyelidik dan penyidik yang menangani kasus kliennya, karena bukan dari kepolisian dan kejaksaan.
Pihak Novanto menganggap surat perintah penyidikan yang dikeluarkan tidak sah karena status penyidik yang tidak sesuai undang-undang.
Baca: Sidang Praperadilan Novanto, KPK Bawa 200 Dokumen termasuk BAP Saksi
Romli menilai, produk hukum yang dihasilkan penyidik tersebut tidak sah.
"Karena pengangkatannya tidak sah, maka apa yang dilakukan setelah itu tidak sah. Masih perlu dipertanyakan keabsahannya," kata Romli.
Setya Novanto mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka oleh KPK pada kasus korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP.
Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu. Ketua Umum Partai Golkar itu diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP.
Sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Setya Novanto diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Selain itu, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP.
Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.