BANDUNG, KOMPAS.com - Hakim Yustisial sekaligus Koordinator Data dan Informasi Kepaniteraan Mahkamah Agung, Asep Nursobah, menilai, pelanggaran hukum oleh aparatur lembaga peradilan tidak serta merta dilihat sebagai akibat dari lemahnya sistem pengawasan dan manajemen perkara.
Menurut dia, MA telah melakukan pembenahan sistem untuk meminimalisasi penyimpangan, salah satunya melalui Sistem Informasi Penanganan Perkara (SIPP).
Sistem tersebut memungkinkan pihak yang berperkara mengakses informasi tanpa perlu bertatap muka dengan aparatur yang menangani perkara.
Demikian pula sistem pengawasan melalui SIWAS atau Sistem Informasi Pengawasan.
Menurut Asep, persoalan mentalitas dan integritas juga menjadi faktor yang menyebabkan penyimpangan kerap terjadi.
"Sebenarnya, dari sisi sistem pengadilan sudah memiliki sistem informasi perkara. Artinya tahapan penyelesaian perkara seharusnya bisa diketahui tanpa bertanya ke orang pengadilan. Lagi-lagi penyimpangan itu kan karena ada supply and demand. Ada penggoda," ujar Asep, saat berbicara dalam Lokakarya Media bersama MA dan EU-UNDP Sustain di Bandung, Jawa Barat, Kamis (24/8/2017).
"Ini juga masalah mentalitas," ujar dia.
Dengan keterbatasan jumlah sumber daya manusia, lanjut Asep, sulit untuk mengawasi seluruh satuan unit kerja dan ribuan pegawai yang berada di bawah MA.
Di sisi lain, sistem pengawasan institusional juga tidak bisa mengawasi seluruh aparatur setiap saat.
"Ya memang sistem pengawasan institusional tidak bisa mengawasi 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu kan. Yang namanya oknum akan selalu ada," kata Asep.
Persoalan mentalitas
Secara terpisah, Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung (MA) Sunarto tidak menampik adanya oknum aparatur badan peradilan yang memiliki persoalan mentalitas.
Meski MA berupaya untuk meningkatkan sistem pengawasan internal, namun praktik penyimpangan sulit diberantas jika aparatur tetap memiliki mentalitas yang buruk.
"Memang ada oknum pengadilan yang bermental hedonisme, kebahagiaannya, kesuksesannya diukur dari mobil, rumah dan pakaian yang bagus. Akhirnya menempuh jalan pintas. Itulah permasalahannya. Pendekatan untuk membina mental sampai normatif sudah kami lakukan," kata Sunarto.
Menurut Sunarto, oknum yang terjerat dalam kasus suap umumnya menganggap jabatan sebagai sarana untuk mendapatkan berbagai keuntungan dan fasilitas.
Dia juga mengakui, Badan Pengawas MA masih menghadapi sejumlah tantangan dalam melakukan reformasi.
Tantangan tersebut antara lain pola pikir sebagaian aparatur yang minta dilayani, budaya jalan pintas, dan merasa menjadi orang penting.