JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum Marsekal Pertama TNI FA, Santrawan Paparang, menilai kasus dugaan korupsi pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 yang menjerat kliennya sebagai tersangka, belum layak menjadi kasus tindak pidana korupsi.
Sebuah perkara korupsi, menurut dia, harus dimulai dari adanya audit kerugian negara. Namun, dalam kasus AW101, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum melakukan audit.
"Belum ada laporan dan audit kerugian negara. Jadi ini (pembelian helikopter AW101) belum layak disebut sebagai kasus tindak pidana korupsi, terlalu terburu-buru dan dipaksakan," kata Paparang dalam keterangan tertulis, Senin (14/8/2017).
Apalagi, Paparang melanjutkan, pembelian helikopter AW101 telah masuk dalam Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA). Dengan kata lain, pembelian helikopter AW101 telah disetujui Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan.
"Artinya pembelian helikopter AW101 ini telah sesuai mekanisme yang berlaku, dan ini bagian dari pengadaan alutsista (alat utama sistem persenjataan)," ujar Paparang.
Kasus pembelian helikopter AW101, lanjut dia, banyak mendapat perhatian publik karena indikasi kejanggalan-kejanggalan dalam proses penyelidikannya.
Dari sejak dasar kerugian negara yang belum keluar, hingga proses pengumuman beberapa tersangka oleh Panglima TNI yang dianggap melampaui kewenangan dan menabrak aturan hukum.
TNI AU, menurut dia, pada bulan Februari tahun ini sudah melakukan investigasi kasus. Hasil investigasi ditemui bahwa pengadaan dan penggantian jenis helikopter telah memenuhi persyaratan administrasi, prosedur dan sudah diketahui semua pihak.
TNI AU masih terus melakukan investigasi lanjutan atas beberapa hal yang diperlukan.
(Baca juga: Tim Investigasi TNI AU Masih Dalami Pembelian Helikopter AW 101)
Keputusan pembelian helikopter AW 101 juga sudah mendapatkan persetujuan, baik DPR maupun pemerintah dalam anggaran negara 2016, mencakup helikopter AW 101 VVIP untuk Angkatan Udara.
Namun, setelah Presiden Jokowi menolak rencana tersebut pada Desember 2015 karena biayanya yang dianggap tinggi, Kementerian Keuangan menangguhkan anggaran yang dialokasikan untuk pengadaan helikopter tersebut.
Pemblokiran kemudian dibuka lagi pada Juni 2016 setelah Angkatan Udara mengubah kontrak pembelian yang awalnya membeli helikopter AW 101 VVIP untuk keperluan Presiden menjadi pesawat angkut militer dan SAR.
"Maka proses pengadaan tidak ada kendala, semua setuju dan terus berlanjut," ucapnya.
(Baca juga: Menelusuri Polemik Pembelian Heli AgustaWestland AW101)
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sebelumnya mengumumkan penetapan tiga tersangka dalam kasus pembelian helikopter AW101. Ketiga tersangka diduga menyalahgunakan wewenang sehingga menimbulkan kerugian negara.
"Penyidik POM TNI memiliki alat bukti yang cukup untuk meningkatkan status penyelidikan ke tahap penyidikan dan menetapkan tiga tersangka dari anggota militer," ujar Gatot, dalam konferensi pers, di Gedung KPK Jakarta, Jumat (26/5/2017).