JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan pemerintah yang mengancam menarik diri dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu dinilai akan memunculkan berbagai kendala penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019.
Jika hal itu terjadi, maka aturan yang dipakai mengacu pada undang-undang saat ini.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menanggapi mandeknya pembahasan RUU Pemilu karena belum ada titik temu antara pemerintah dengan DPR terkait beberapa isu krusial.
Isu itu di antaranya, terkait ambang batas pencalonan presiden. Pemerintah bersikeras tidak ingin mengubah syarat presidential threshold, yaitu 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara nasional.
"Desain undang-undang lama tidak dipersiapkan untuk pemilu serentak. Melainkan pileg dan pilpres yang terpisah," kata Titi saat dihubungi, Selasa (11/7/2017).
Baca: Ketum PPP: Koalisi Pemerintah Solid Tak Ubah 'Presidential Threshold'
Titi menjelaskan, salah satu pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi pada 2014 lalu bahwa pemilu serentak tidak langsung dilaksanakan saat itu, untuk memberi waktu yang cukup untuk pembuat undang-undang mempersiapkan kerangka hukum bagi pelaksanaan pemilu serentak.
Ia menyayangkan sikap pemerintah yang sejak awal sudah terlambat mempersiapkan RUU Pemilu.
"Baru diserahkan ke DPR Oktober 2016 lalu. Padahal semestinya pemerintah merespons putusan MK yang memerintahkan pembentukan UU untuk pemilu serentak 2019 secara cepat, baik, dan komprehensif," kata Titi.
Menurut Titi, akan menjadi preseden sangat buruk jika DPR dan pemerintah gagal menyelesaikan RUU Pemilu.
Baca: Roy Suryo: Jika Pakai UU Pemilu Lama, Tak Ada "Presidential Threshold"
"Menunjukkan kinerja legislasi yang selalu kedodoran dari kedua belah pihak," kata Titi.
Titi berharap, DPR dan pemerintah bisa mengambil keputusan terbaik dan tidak menyandera penyelenggara pemilu, maupun para pemangku kepentingan, dengan situasi ketidakpastian aturan main Pemilu 2019.