JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie berharap agar Undang-Undang Pemilu segera disahkan.
Saat ini pembahasan rancangan UU tersebut terhambat soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold. Rencananya, pengambilan keputusan pembahasan RUU Pemilu terkait lima isu krusial, dilakukan pada 20 Juli 2017.
"Saya berharap itu tidak molor lagi, karena kasihan nanti penyelenggara (terhambat dalam bekerja), tahapan sudah dekat lagi dan harus segera simulai. Kalau RUU molor itu repot sekali," ujar Jimly di Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (4/7/2017).
Jimly menilai persoalan mengenai ambang batas lebih didominasi kepentingan partai terkait proses pencalonan presiden, dan bukan demi kepentingan publik.
"Jadi sebaiknya hal-hal yang sifatnya bukan untuk kepentingan bangsa dan negara itu nomor dua-lah. Yang penting dinomorsatukan itu segera, jangan ditunda-tunda," kata Jimly.
Jimly berharap ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR menanggapi isu ambang batas pencalonan presiden pada RUU Pemilu.
"Jadi harapan kita DPR dengan pemerintah segera bermusyawarah dengan baik," kata Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) tersebut.
(Baca juga: Pembahasan RUU Pemilu dan Konflik Kepentingan Partai Politik)
Lebih jauh, menurut Jimly, tidak masalah jika ada perubahan pada ambang batas. Namun, sedianya perubahan tersebut tidak terlalu ekstrem.
Menurut Jimly, angka yang cukup ideal untuk ditetapkan pada ambang batas pencalonan presiden adalah 10 persen.
"Jadi logika untuk adanya perubahan penyesuaian masuk akal. Tapi kalau 0 persen itu kan tidak konsolidasi, terlalu ekstrem," kata Jimly.
Soal kekhawatiran akan adanya banyak pasangan calon presiden dan wakilnya, Jimly menilai sedianya hal itu tidak menjadi persoalan yang sulit.
"Kan ini soal kesepakatan saja. Mengenai jumlah paslon (pilpres) enggak usah khawatir, paling banyak lima. Banyak kan enggak apa-apa, kan nanti dua tahap," kata Jimly.