Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM

Staf senior Komnas HAM yang saat ini bertugas sebagai Plt Kepala Bagian Penyuluhan dan Kasubag Teknologi Informasi Komnas HAM. Pada 2006-2015, bertugas sebagai pemantau/penyelidik Komnas HAM. Hobi menulis, membaca, dan camping.

Presiden Jokowi dan Tragedi Mei

Kompas.com - 13/05/2017, 15:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

SETIAP kalender tahunan tiba pada 13-15 Mei, memori kita kembali diingatkan oleh sebuah peristiwa yang telah menistakan kemanusiaan dan keadilan yang terjadi sembilan belas tahun silam: Tragedi Mei.

Tragedi Mei adalah peristiwa kerusuhan massal yang terjadi pada 1998. Selama tiga hari, amukan massa dan penjarahan massal secara masif pecah di Jakarta, Solo, dan Medan, yang diduga berakibat jatuhnya ribuan korban di iantaranya karena terbakar terkurung di dalam pusat-pusat pertokoan.

Menurut penyelidikan Komnas HAM, peristiwa itu diduga dilakukan secara sistematis dan/atau terencana.

Meskipun sudah berlangsung selama sembilan belas tahun yang lalu, gambaran atas kebiadaban peristiwa itu dan rasa luka masih abadi, karena kebenarannya belum diungkap.

Siapa aktor utama, pelaku lapangan, dan motifnya, belum jelas. Padahal, selama sekian tahun, korban yang di antaranya dimakamkan secara massal di Taman Pemakaman Umum Pondok Rangon, korban yang masih hidup, dan keluarganya, menantikan adanya kepastian hukum dan keadilan yang menjadi hak asasinya.

Meskipun sejak peristiwa itu bangsa ini telah melewati lima presiden termasuk era Presiden Jokowi saat ini, namun tabir atas Tragedi Mei belum disingkap. Nampaknya, suksesi kepresidenan masih sebatas prosesi administratif per lima tahun, karena setiap presiden tidak berkomitmen dan mempunyai kebijakan yang tegas dalam menyikapi Tragedi Mei.

Negara masih mengabaikan hak-hak korban atas kebenaran dan keadilan karena ketidakjelasan arah dan proses hukum sesuai dengan mekanisme penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam Tragedi Mei  ke Kejaksaan Agung sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, ada keengganan dari negara untuk menuntaskan kasus itu dengan alasan teknis dan administratif.

Koordinasi dan sinergitas antara kedua lembaga negara itu seharusnya mampu mempersiapkan materi perkara dan menentukan terduga pelaku supaya bisa segera masuk ke ranah pengadilan HAM ad-hoc.

Penyelidikan Komnas HAM berdasarkan mandat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, adalah tindak lanjut dari rekomendasi TGPF yang dibentuk oleh Presiden BJ Habibie pada 23 Juli 1998

Berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Tragedi Mei diduga mengakibatkan lebih dari seribu orang meninggal akibat terjebak dalam bangunan yang terbakar atau dibakar, ratusan orang luka-luka, penculikan terhadap beberapa orang, pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap perempuan yang sebagian besar dari minoritas etnis tertentu khususnya Tionghoa, serta ribuan bangunan dibakar.

Di balik fakta-fakta yang menistakan kemanusiaan itu, adanya wacana dari pemerintah untuk menyelesaikan Tragedi Mei melalui mekanisme non yudisial (tidak melalui pengadilan), tentu saja menyakiti hati dan perasaan keluarga korban.

Padahal, di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, masyarakat khususnya korban berharap ada titik terang atas penyelesaian Tragedi Mei, oleh karena ia adalah presiden dari kalangan masyarakat sipil dan dianggap tidak dibebani oleh kasus masa lalu.

Namun, harapan ini nampaknya harus disimpan dulu karena pemerintahan saat ini diduga tersandera oleh kepentingan dan tarik menarik politik kekuasaan.

Dengan didukung oleh masyarakat kelas menengah dan aktivis HAM ketika terpilih sebagai presiden, apabila Presiden Jokowi enggan untuk menuntaskan Tragedi Mei melalui mekanisme pengadilan HAM ad-hoc, tentu sangat disayangkan. Jangan sampai politik impunitas dilanggengkan oleh karena kepentingan politik kekuasaan yang mengabaikan moral dan keadilan publik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com