JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, kompetisi pilkada yang berbasis sentimen bersifat primordial justru menurunkan kualitas proses demokrasi.
Lebih lanjut, dia mengatakan, dampak dari menguatnya sentimen yang bersifat primordial tersebut adalah menjadi tidak bernilainya kerja dan kinerja.
"Kinerja itu menjadi sesuatu yang tidak ada nilainya, tidak ada harganya. Tidak ada apresiasi terhadap prestasi seseorang," kata Syamsuddin dalam sebuah diskusi yang digelar di Kantor LIPI, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Menurut Syamsuddin, ada beberapa faktor yang mendorong mengapa politisasi sentimen primordial seperti agama dalam Pilkada DKI Jakarta begitu kencang.
(Baca juga: Peneliti LIPI: Dampak Politik Identitas Pilkada DKI Jadi Persoalan Besar)
Hal menarik, faktor tersebut merupakan dampak akibat kebijakan pemerintah, yang tidak hanya terjadi dalam lima atau sepuluh tahun terakhir.
Sejak lama, bahkan tutur Syamsuddin, sejak pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintah tidak serius dalam membangun karakter bangsa. Hal yang dipikirkan hanyalah membangun negara (state building).
"Makanya yang fasih diucapkan setiap pemerintahan itu adalah pertumbuhan ekonomi, dan seterusnya," kata dia.
Faktor lainnya adalah sikap ambivalensi yang seringkali ditunjukkan pemerintah dalam menghadapi isu terkait negara dan agama. Menurut Syamsuddin, faktor-faktor yang sudah menahun ini menjadi daya dorong menguatnya sentimen primordialis.
"Pilkada Jakarta yang menonjolkan politisasi agama dan kencangnya persaingan berdasarkan sentimen primordial ini sangat memprihatinkan. Karena bagi saya ini (Jakarta) adalah miniatur penduduk Indonesia," kata Syamsuddin Haris.
(Baca juga: Penggunaan Politik Identitas Diprediksi Menguat hingga Pemilu 2019)
Di sisi lain, sentimen sektarian atau primordial yang sedemikian menguat ini kemudian menggelinding dengan sendirinya di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Syamsuddin, hal ini juga terjadi akibat tidak ada lagi peran partai politik dalam proses demokrasi.
"Posisi partai politik tidak lebih sebagai penggembira belaka, tidak ada perannya sama sekali. Jadi hangat-hangat tahi ayam saja," kata dia.
"Di awal sibuk galang koalisi pengusungan, di tengah kosong, kemudian ketika menang atau kalah dia tampil lagi. Itu, betul-betul mengecewakan," ujar Syamsuddin Haris.