Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/05/2017, 17:11 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Hukum Tata Negara Denny Indrayana menilai, penggunaan hak angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan modus baru untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal itu disampaikan Denny melalui sambungan teleconfence dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Publik Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) di bilangan Kuningan, Jakarta, Selasa (2/5/2017).

"Saya melihat ini adalah modus operandi baru untuk melemahkan KPK," ujar Mantan Wakil Kementerian Hukum dan HAM tersebut.

Selama ini, kata Denny, ada empat macam modus operandi yang digunakan untuk melemahkan KPK. Pertama, dengan cara merevisi Undang-Undang KPK.

(Baca: Drama Rapat Paripurna DPR Loloskan Hak Angket KPK...)

Kedua, dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiga, mengkriminalisasi para pimpinan KPK. Dan keempat, melakukan penyerangan secara fisik terhadap para komisioner atau penyidik KPK.

"Mudus hak angket ini adalah mudus baru," kata Denny.

Namun, lanjut Denny, upaya pelemahan dengan cara ini harus didukung dengan pembentukan panitia angket. Pada aturannya, panitia angket bisa terbentuk jika seluruh Fraksi di DPR mengirimkan utusannya.

"Kalau ada satu fraksi saja tidak mengirim utusannya otomatis panitia angket gugur, dan hak angket itu gugur," ujar Denny.

(Baca: Fahri Hamzah Sebut Hak Angket Bisa Diajukan untuk KPK, Ini Alasannya)

Senada dengan Denny, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Indonesia, Mahfud MD mengatakan, untuk mengesahkan pembentukan panitia angket itu harus ada perwakilan dari seluruh faksi.

"Pasal 171 ayat 2 peraturan Tatib Nomor 1 tahun 2014. Di situ jelas hak angket harus terwakili semua fraksi kalau tidak, tidak sah," kata Mahfud.

Oleh karena itu, agar panitia angket sah secara yuridis maka perlu ada perwakilan dari setiap fraksi di DPR.

(Baca: Zulkifli Hasan: Hak Angket Bisa Jatuhkan Pemerintah)

Sebelumnya, ada tiga Fraksi yang menyampaikan penolakannya atas hak angket, yaitu Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Gerindra.

Usulan hak angket itu dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta. Alasannya, dalam persidangan disebutkan bahwa politisi Partai Hanura Miryam S Haryani mendapat tekanan dari sejumlah anggota Komisi III.

Menanggapi hal itu, Komisi III pun mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam untuk membuktikan pernyataan tersebut benar disampaikan oleh yang bersangkutan. Adapun Miryam kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.

Kompas TV KPK terus mengembangkan penyidikan kasus korupsi KTP elektronik, yang menyeret sejumlah pihak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Soal 'Presidential Club', Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Soal "Presidential Club", Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com