JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Sekjen Fitra Apung Widadi meminta Kementerian Keuangan membuka nama-nama obligor penerima Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belum melunasi utangnya.
KPK menemukan indikasi pemberian SKL terhadap sejumlah pihak yang belum melunasi pinjamannya ke Bank Indonesia.
"Kementerian Keuangan kalau reformis harus menyampaikan yang lunas siapa, yang belum siapa," ujar Apung di Sekretariat Fitra, Jakarta, Rabu (26/4/2017).
Kemenkeu juga diminta melampirkan bukti pelunasan itu. Kalaupun ada yang belum lunas, Kemenkeu juga harus menyampaikan kapan jatuh tempo. Dengan demikian, publik bisa mengawal obligor tersebut agar melunasi utangnya.
(Baca: Kasus SKL BLBI, KPK Tetapkan Mantan Kepala BPPN sebagai Tersangka)
Jika ditemukan pihak penerima SKL yang belum lunas, maka harus segera ditindaklanjuti oleh KPK.
"Kita akan minta melalui Undang-undang keterbukaan informasi publik, siapa yang sudah lunas beneran," kata Apung.
Dalam undang-undang tersebut, pihak termohon harus memberikan informasi kepada pemohon dalam kurun waktu tertentu. Jika data itu tak juga dibuka Kemenkeu, maka Fitra akan membawanya ke Komisi Informasi Publik.
"Kalau tidak dikabulkan, kita akan ajukan gugatan ke KIP," kata Apung.
Di samping itu, KPK juga diminta cepat menuntaskan kasus yang diduga melibatkan sejumlah obligor "kakap".
(Baca: Ini Sosok Syarifuddin Temenggung, Tersangka Perdana Kasus BLBI...)
Menurut Apung, lebih baik KPK jiga terbuka soal nama-nama obligor yang sebetulnya tidak berhak menerima SKL, selain Sjamsul Nursalim.
Sjamsul selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004, menerima SKL dari mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung.
SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN.
KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sekurangnya Rp 3,7 triliun.
KPK juga mengupayakan pengembalian aset negara dalam kasus ini. Para pelaku akan dijerat dengan dengan pasal pencucian uang dan pidana korporasi.