JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota koalisi masyarakat Selamatkan Mahkamah Konstitusi Aradila Caesar mengatakan, calon hakim Mahkaham Konstitusi (MK) yang memiliki latar belakang politisi merupakan hal yang dilematis.
Idealnya, kata dia, calon hakim MK tidak memiliki latar belakang sebagai politisi.
"Ini cukup dilematis ya. Ada yang menyatakan tidak masalah dari partai politik ada yang tidak. Menurut kami, idealnya seharusnya memang dia tidak punya latar belakang politisi," kata Aradila di kawasan bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (12/2/2013).
Menurut Aradila, hakim yang memiliki integritas sulit didapatkan dari seorang politisi.
Ardila mengatakan, Itu tampak banyaknya pejabat negara yang berasal partai politik yang terseret perkara korupsi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch itu menyebutkan, jika latar belakang politisi diperbolehkan, calon hakim MK harus meninggalkan identitas politik dalam waktu yang cukup lama.
Syarat itu, lanjut dia, diperlukan untuk menjaga independensi hakim.
"Dalam kondisi peradilan kita saat ini, agak naif kalau kita masih membolehkan orang-orang dari partai politik yang baru selesai atau baru keluar dari DPR tidak dalam jangka waktu yg cukup lama untuk menjadi hakim. Sangat naif sekali," ujar Aradila.
Sementara itu, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie tidak mempermasalahkan jika hakim MK yang direkrut Presiden Joko Widodo berlatar belakang politisi. Meski demikian, Jimly merasa perlu dibuat aturan khusus terkait hal itu.
Berkaca pada calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mempunyai syarat minimal lima tahun melepas jabatan struktural partai politik, semestinya untuk calon hakim MK pun dikenakan syarat demikian.
(Baca: Jimly Sebut Syarat Hakim MK Berlatar Politikus Perlu Diatur)
"Kalau (syarat calon anggota KPU) lima tahun, mestinya (syarat calon hakim MK) lima setengah tahun. Harus lebih tinggi persyaratannya tidak terlibat dalam partai politik," ujar Jimly.
Tertangkapnya hakim Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara dugaan suap pengujian UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, membuat hakim MK berukurang satu, menjadi delapan orang.
Patrialis diduga menerima suap sebesar sebesar 20.000 Dollar AS dan 200.000 Dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar.
Saat ini, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menyerahkan surat rekomendasi pemberhentian sementara Patrialis kepada Presiden Joko Widodo.
Presiden juga tengah merancang panitia seleksi hakim MK untuk mencari pengganti Patrialis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.