JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto menilai perlu ada perubahan sistem dalam internal Mahkamah Konstitusi (MK) yang bisa menjamin hakim-hakim konstitusi tak tergerus dengan perilaku yang tak baik.
Hal itu menyusul kasus dugaan suap yang menyeret nama Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Ia juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, perlu ada pula sistem pengawasan yang lebih ketat yang menjamin para hakim MK tak mudah disusupi kepentingan.
"Sistem pengwasan di MK ini juga harus terukur dan bisa dipastikan bahwa itu menjamin MK tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan mana pun," kata Didik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/1/2017).
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat itu menilai proses rekrutmen yang berlaku sudah konkret.
(Baca: Mahkamah Konstitusi Tanpa Patrialis Akbar...)
Namun, sistem yang ada di internal perlu diperbaiki agar hakim-hakim yang baik tak terjerumus pada persoalan-persoalan bersifat pragmatis. Sebab, hakim MK dianggap sebagai pemegang palu terakhir dalam pencarian keadilan, dalam konteks uji materi undang-undang (judicial review).
"Kami ingin siapapun hakim MK yang terpilih nanti terlindungi oleh sistem. Jadi orang yang baik orang yang sekiranya dipercayakan integritasnya kapasitas dan kapabilitasnya ini semakin baik," kata Ketua DPP Partai Demokrat itu.
Lebih lanjut, Komisi III akan mendalami seluruh proses dan sistem di MK untuk mencari tahu, mana sistem yang melahirkan sikap-sikap pragmatisme dari hakim.
(Baca: Patrialis Akbar, Hakim MK Pilihan SBY yang Sempat Jadi Polemik)
"Komisi III ingin mendalami seluruh proses dan sistem di MK. Tentu bersama MK dan Komisi III sebagai pengawas akan mengurai lebih lanjut dan kemudian akan didiskusikan lebih lanjut," ucap Didik.
Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap sebelas orang yang diduga terlibat dalam kasus suap perkara uji materi undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi.
Satu dari sebelas orang itu adalah Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Patrialis diduga menerima uang suap dari pihak yang berperkara dalam uji materi undang-undang tersebut.