JAKARTA, KOMPAS.com - Penambahan jumlah pimpinan DPR dianggap bukan merupakan kebutuhan prioritas dan tidak ada urgensinya untuk direalisasikan segera.
Pakar Hukum dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Andi Syafrani berpendapat, DPR sebaiknya fokus pada produk legislasi yang lebih penting bagi masyarakat atau produk legislasi yang telah tertunda lama.
"RUU Pemilu, misalnya. Harus dikebut agar jangan seperti UU Pilkada. Selesainya mepet dan persiapan banyak yang terlewat karena waktu banyak yang tidak cukup," kata Andi di Jakarta, Sabtu (17/12/2016).
"Atau menyelesaikan UU yang sudah lama, seperti KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang sudah bertahun-tahun (dibahas). Banyak lah yang lebih substansial dan dibutuhkan masyarakat," sambungnya.
(Baca: Fahri Hamzah: Revisi UU MD3 Harus Libatkan Pemerintah)
Penambahan jumlah pimpinan DPR akan diakomodasi melalui revisi terbatas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Revisi UU MD3 telah resmi masuk daftar Program Legislasi Nasional 2017. Revisi tersebut pada mulanya diusulkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
PDI-P sebagai partai pemenang pemilu merasa seharusnya memiliki kursi pimpinan DPR. Proses hingga RUU tersebut diketok sebagai Prolegnas 2017 pun terbilang kilat.
Bahkan, sebelumnya sempat direncanakan sebelum penutupan masa sidang PDI-P sudah bisa diresmikan mendapat satu kursi pimpinan.
Pembuatan UU secara prinsip, kata Andi, harus memenuhi sejumlah aspek di antaranya aspek filosofis, sosiologis serta fungsi dan kegunaan.
"Apakah perubahan yang diusulkan DPR terkait UU MD3 yang hanya pada komposisi pimpinan itu sudah memenuhi kriteria (aspek) itu Ini harus uji publik juga. Jangan terkesan jadi kepentingan subyektif DPR atau partai tertentu," ujarnya.
Sejumlah 50 RUU masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2017. Masih ada puluhan RUU lainnya yang dianggap mendesak untuk diselesaikan cepat.
Andi menyarankan agar DPR menunda pembahasan revisi terbatas UU MD3 terkait penambahan jumlah pimpinan DPR tersebut dan tak menempatkannya sebagai RUU yang dianggap sebagai prioritas utama.
"Dalam situasi saat ini harus segera dihentikan oleh para pembuat UU. Kalau pun sudah masuk (Prolegnas 2017), jadikan itu sebagai non-prioritas untuk dibahas, karena masih banyak dalam daftar Prolegnas yang harus diselesaikan," kata Andi.