JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menyampaikan, karakter independen dan imparsial Hakim Konstitusi memastikan bahwa Hakim Konstitusi tidak akan mempertimbangkan dan tidak pula akan terpengaruh pada opini pihak manapun yang disampaikan di luar persidangan.
Pernyataan ini merespons tanggapan sejumlah pihak yang mempersoalkan uji materi perpanjangan masa jabatan hakim MK yang diajukan ke MK.
"Malahan sebenarnya, tidak seharusnya ada pihak-pihak yang mengemukakan opini-opini di luar persidangan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi, apalagi memaksa-maksa Hakim Konstitusi memutus perkara tertentu yang sedang dalam proses dan belum diputus," ujar Fajar saat dihubungi, Jumat (9/12/2016).
Ia mengatakan, pihak-pihak yang keberatan atau bahkan tidak setuju dengan adanya uji materi ini semestinya mendaftarkan diri sebagai pihak terkait, kemudian menjelaskan kepada hakim konstitusi alasan keberatannya.
"Hal demikian akan lebih clear dan elegan. Kenapa dulu pihak-pihak yang bersuara keras terhadap perkara ini tidak melibatkan diri dalam persidangan, menjadi Pihak Terkait misalnya," kata Fajar.
"Kemana saja mereka dulu? Mengapa baru sekarang bersuara setelah persidangan selesai?," tambah dia.
Fajar menambahkan, jika hal seperti ini ditanggapi di luar persidangan, maka tindakan tersebut serupa dengan merongrong kehormatan dan wibawa lembaga peradilan. Sikap seperti itu, lanjut Fajar, dapat dikategorikan penghinaan terhadap lembaga peradilan.
"Mengutip pertimbangan Putusan ketika MK menguji konstitusionalitas UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua UU MK, yang menetapkan Perpu Penyelamatan MK menjadi UU, tindakan demikian dapat dikategorikan sebagai contempt of court," kata dia.
MK, kata Fajar, meminta publik percaya atas putusan yang nanti dibuat. Sebab, dengan kemampuannya yang dimiliki, khususnya mengenai ketatanegaraan, sudah tentu Hakim Konstitusi mempertimbangkan banyak hal dan tetap menjaga independensinya sebelum membuat keputusan. Hal ini, demi tegaknya keadilan dan konstitusi.
"Dengan kapasitas demikian, dengan independensi yang dimiliki, maka percayalah dan biarkan Hakim Konstitusi memutus perkara tersebut sesuai dengan keyakinan, preferensi, dan penguasaannya terhadap konstitusi," kata dia.
Gugatan uji materi perpanjangan masa jabatan Hakim MK yang diajukan Centre of Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI) terdaftar di MK dengan nomor perkara 73/PUU-XIV/2016.
CSS UI beralasan bahwa ketentuan masa jabatan hakim MK yang hanya dapat dipilih selama dua periode ini diskriminatif jika dibandingkan dengan masa jabatan hakim MA, yakni hingga 70 tahun.
Adapun masa perpanjangan hakim MK diatur dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang mengatur jabatan hakim MK ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.