JAKARTA, KOMPAS.com - Masa jabatan seumur hidup hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai dapat menghadirkan mafia hukum.
Masa jabatan seumur hidup rentan mengakibatkan hakim konstitusi memanfaatkan jabatan untuk kepentingan tertentu.
"Ini akan memunculkan mafia konstitusi. Orang akan memanfaatkan jabatan ini untuk kepentingan-kepentingan," ujar Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho dalam Dialog Media di Kantor Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, Rabu (7/12/2016).
Emerson mengatakan, rentannya kemunculan mafia konstitusi karena hakim dapat bertindak sewenang-wenang akibat masa jabatannya tak terbatas.
(Baca: CSS UI: Yang Kami Mohon ke MK adalah Masa Jabatan Hakim Hingga Pensiun)
Menurut Emerson, hakim konstitusi saat ini telah memiliki kewenangan yang besar saat memutus suatu perkara.
Sebab, putusan hakim konstitusi dalam suatu perkara final dan mengikat. "Enggak bisa ada upaya banding dan kasasi, beda dengan di pengadilan," kata Emerson.
Tanpa adanya pembatasan masa jabatan, fungsi pengawasan terhadap hakim konstitusi dapat melemah.
Dalam kondisi itulah, tambah dia, penyalahgunaan wewenang hakim konstitusi dapat terjadi.
"Kita cuma takut kalau kewenangan mereka luar biasa, masa jabatan panjang, fungsi kontrol pada akhirnya juga tidak akan terlalu kuat," tutur Emerson.
Emerson mengatakan, rentannya penyalahgunaan wewenang ini diperparah dengan potensi perkara yang akan masuk ke MK dalam beberapa tahun ke depan.
Pasalnya, Indonesia akan melangsungkan Pilkada Serentak pada 2017 dan 2018. Sementara pada 2019, Pemilu Presiden akan digelar.
"Apalagi ke depan ini kan ada banyak kasus, Pilkada 2017 dan 2018, pemilu 2019. Itu pasti kalau diperpanjang mereka akan pegang perkara itu," ucap Emerson.
Untuk itu, Emerson berharap tetap ada pembatasan masa jabatan hakim konstitusi.
Ini dapat dilakukan dengan menolak perkara uji materi perpanjangan masa jabatan Hakim MK yang diajukan Centre of Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI) terdaftar di MK dengan nomor perkara 73/PUU-XIV/2016.