JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Irman Gusman, menyampaikan nota keberatan atas surat dakwaan jaksa penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Salah satu materi keberatan yang disampaikan melalui tim penasihat hukum, yaitu terkait dengan dakwaan pidana perdagangan pengaruh (trading in influence).
"Dengan tidak adanya undang-undang yang mengatur trading in influence, maka menurut kami terdakwa tidak bisa dipidana dalam perbuatan memanfaatkan pengaruhnya kepada Direktur Utama Perum Bulog," ujar pengacara Irman Gusman, Tommy Singh saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (15/11/2016).
Irman Gusman didakwa menerima suap Rp 100 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan istri Xaveriandy, Memi.
Suap tersebut terkait dugaan pengaturan kuota gula impor dari Perum Bulog untuk disalurkan ke Sumatera Barat.
Irman diduga menggunakan pengaruhnya untuk mengatur pemberian kuota gula impor dari Perum Bulog kepada perusahaan milik Xaveriandy.
Menurut tim pengacara, penjelasan tersebut hanya digunakan jaksa penuntut untuk menegaskan ucapan Ketua KPK Agus Rahardjo mengenai perbuatan yang disangka kepada Irman.
Sebab, menurut pengacara, Irman tidak memiliki kewenangan terkait impor gula.
Tommy mengatakan, aturan mengenai perdagangan pengaruh tersebut sebenarnya telah diatur dalam Konvensi PBB tentang Antikorupsi.
Namun, meski Indonesia telah meratifikasi regulasi tersebut, perbuatan perdagangan pengaruh tidak serta-merta diterapkan dalam proses hukum.
"Meski telah diratifikasi, tetap saja harus ada undang-undang yang memberi kualifkasi perbuatan serta ancaman pidana," kata Tommy.
Menurut tim pengacara, berdasarkan Konvensi Antikorupsi, negara berkewajiban untuk melakukan tindakan legislatif dan administratif dalam melaksanakan kewajiban Konvensi.
Artinya, menurut Tommy, jika seorang penyelenggara negara ingin dipidana karena perbuatan perdagangan pengaruh, harus ada perubahan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau dibuat undang-undang yang baru.
"Keliru jika UN Convention disebut berlaku serta mengikat dan dapat digunakan dalam pidana korupsi di Indonesia, dengan alasan telah diratifikasi," kata Tommy.