JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu merasa Pemerintah Indonesia tidak perlu melaksanakan keputusan International People’s Tribunal tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan Indonesia 1965.
"Enggak usah dengerin orang luar negeri. Gombal itu. Seharusnya mereka yang dengerin kita," ujar Ryamizard di Kompleks Istana Presiden Jakarta, Rabu (20/7/2016).
Ryamizard pun menganggap putusan itu mengada-ada karena Pemerintah Indonesia harus meminta maaf ke korban PKI atau anggota PNI yang merupakan pembela setia Presiden Soekarno.
"Minta maaf sama siapa? Enggaklah," ujar dia.
(Baca: IPT Kasus 1965: Indonesia Bertanggung Jawab atas Beberapa Kejahatan Kemanusiaan)
Majelis hakim internasional dari International People’s Tribunal tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan Indonesia 1965 menyatakan bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara pasca-peristiwa 1 Oktober 1965.
Pembunuhan massal tersebut dilakukan terhadap anggota PKI dan anggota PNI yang merupakan pembela setia Presiden Sukarno.
Hakim ketua, Zak Jacoob, menyatakan negara Indonesia bertanggung jawab atas beberapa kejahatan terhadap kemanusiaan melalui rantai komandonya.
(Baca: Alasan Politis, Kendala Pemerintah Belum Putuskan Penyelesaian Peristiwa 1965)
Pertama, pembunuhan massal yang diperkirakan menimbulkan ratusan ribu korban.
Kedua, penahanan dalam kondisi tak manusiawi, dengan jumlah korban diperkirakan mencapai sekitar 600.000 orang.
Ketiga, perbudakan orang-orang di kamp tahanan seperti di Pulau Buru. Selain itu, terdapat juga bentuk penyiksaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual.
(Baca: Luhut: Apa Urusannya IPT 1965? Indonesia Tak Bisa Didikte Bangsa Lain!)
Majelis hakim merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia minta maaf kepada para korban, penyintas, dan keluarga korban.
Pemerintah juga didesak melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana tuntutan Komnas Perempuan dan Komnas HAM dalam laporannya.