SINGAPURA, KOMPAS — Pembicaraan yang belakangan muncul terkait dengan peristiwa 1965 sebenarnya memiliki tujuan akhir yang relatif sama. Tujuan itu adalah mencari penyelesaian bersama sekaligus mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut agar tak terulang di masa depan.
Namun, kurangnya komunikasi dan penarikan kesimpulan yang berlebihan terhadap kegiatan yang dimaksudkan untuk meneguhkan rekonsiliasi membuat polemik bermunculan terkait peristiwa 1965.
"Kini yang dibutuhkan adalah rasa saling percaya. Kita percayakan penyelesaian masalah ini kepada pemerintah," kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo saat ditemui wartawan Kompas, M Hernowo, di sela-sela pertemuan keamanan Shangri-La Dialogue, di Singapura, Sabtu (4/6).
Agus yang adalah anak pahlawan revolusi Sutoyo Siswomiharjo merupakan ketua panitia pengarah Simposium 1965 yang digelar pertengahan April lalu. Oleh karena acara itu dinilai sejumlah kalangan berat sebelah, lalu muncul simposium "Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain". Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri menjadi ketua dari simposium yang digelar 1 dan 2 Juni tersebut.
Masalah komunisme kemarin juga sempat ditanyakan kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu. Saat itu, Menhan yang menjadi pembicara dalam sesi Making Defence Policy in Uncertain Policy di Shangri-La Dialogue ditanya oleh perwakilan dari Australia tentang apakah komunisme merupakan isu pertahanan di Indonesia dan menjadi ancaman ideologi di Tanah Air?
Atas pertanyaan itu, Ryamizard menegaskan tetap menghormati ideologi komunis. Namun, Indonesia harus mewaspadai PKI karena partai itu telah dua kali memberontak, yaitu pada 1948 dan 1965.
Agus menuturkan, Indonesia punya ingatan buruk tentang komunisme, PKI, dan bahaya latennya. Pemerintah selalu berupaya mencegah munculnya kembali bahaya PKI dan komunisme. Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 menyatakan ajaran komunisme dan PKI dilarang di Indonesia.
Dengan kondisi ini, lanjut Agus, jangan lagi ada pandangan ataupun keinginan untuk membangkitkan kembali PKI dan ideologinya di Indonesia.
Namun, Agus mengingatkan, generasi Indonesia yang lahir setelah tahun 1965 banyak yang melihat peristiwa 1965 sebagai akibat dari Orde Baru. Ini karena mereka hanya melihat peristiwa itu dalam rangkaian kejadian yang terjadi setelah 1 Oktober 1965.
***
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Juni 2016, di halaman 2 dengan judul "Gali Pelajaran dari Peristiwa 1965".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.