JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon mengimbau agar pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak perlu tergesa-gesa.
Fadli mengatakan, meskipun Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sudah menetapkan target penyelesaiannya pada Oktober, RUU tersebut perlu didikusikan secara komprehensif.
"Sebab, RUU tersebut jika tidak didetailkan pembahasannya bisa disalahartikan dan malah menjadi bumerang karena ini menyangkut hal yang sensitif bagi masyarakat sipil," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (14/7/2016).
"Juga jangan sampai kita kembali ke zaman dulu ketika ada UU keamanan subversif. Intinya jangan sampai ini malah jadi alat politik," kata Fadli.
(Baca: Revisi UU Anti-Terorisme Ditargetkan Rampung Akhir Oktober)
Dia menambahkan, masukan dari tokoh masyarakat dan kalangan masyarakat sipil penting didengar agar pemerintah dan DPR memiliki pandangan yang sama dalam menangani terorisme di Indonesia.
"Betul bahwa pemerintah dan beberapa pihak di DPR memang ingin RUU ini cepat selesai karena akhir-akhir ini ada banyak kasus terorisme, salah satunya seperti bom di Mapolresta Solo, tetapi kan tetap harus komprehensif," ucap Fadli.
"Makanya, jangan tergesa-gesa, pendapat dari kalangan masyarakat sipil harus didengar agar RUU ini nanti hasilnya komprehensif dan setelah disahkan tidak digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Fadli.
(Baca: Pasal dalam RUU Anti-Terorisme soal Pelibatan TNI Diminta Dicabut)
Sebelumnya diberitakan, RUU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ditargetkan rampung akhir Oktober 2016. Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Terorisme, Arsul Sani, mengatakan, saat ini revisi UU tersebut masih pada tahapan meminta masukan dari masyarakat dan instansi terkait.
Kemungkinan pekan depan, Pansus RUU Terorisme melakukan kunjungan ke beberapa daerah yang selama ini kerap diasosiasikan dengan aktivitas terorisme, seperti Solo, Poso, dan Bima.
Setelah itu, daerah inventarisasi masalah (DIM) disusun oleh fraksi.
"Kami akan tanya sama masyarakat, kenapa mereka radikal, kok mereka jadi begitu, dan sebagainya," kata Arsul.