JAKARTA, KOMPAs.com - Praktisi hukum Andi Syafrani menilai, Presiden Joko Widodo harus membuat aturan teknis dan detail soal penunjukkan Kepala Polri.
Menurut Andi, aturan perundangan yang ada saat ini memiliki ruang "abu-abu" yang rentan digunakan untuk transasksi politik.
"Aturan yang ada ini rentan transaksi kepentingan politik," ujar Andi di Jakarta, Sabtu (11/6/2016).
Undang-Undang tentang Kepolisian, dianggap tidak cukup untuk menjadi rujukan penunjukkan Kapolri. UU itu dianggap sangat umum dan banyak memiliki celah terjadinya transaksi politik.
Peraturan Pemerintah tentang pengangkatan dan pemberhentian personel Polri juga dianggap kurang spesifik mengatur tentang penunjukkan Kapolri. Harus ada aturan teknis berupa Peraturan Presiden yang dapat mengatur soal mekanisme, proses, tata cara, jangka waktu dan kriteria calon kapolri.
"Mengapa Perpres? Karena ini menyangkut kewenangan Presiden secara personal dan tidak melibatkan institusi lain. Kapolri adalah hak prerogatif Presiden," ujar dia.
Selain menutup celah jabatan Kapolri dijadikan transaksi politik, aturan teknis itu juga dapat memberikan kepastian hukum. Dengan demikian, tidak ada lagi pihak yang mengutak-utik Kapolri pilihan Presiden. Sebab, Kapolri tersebut telah melalui mekanisme yang berpayung hukum.
"Jadi ketika Presiden menyerahkan nama ke DPR untuk disetujui, tingkat negosiasi politiknya tidak terlalu tinggi. Karena ini sudah melewati mekanisme yang jelas," ujar dia.
"Yang selama ini dikhawatirkan kan politiknya. Kalau Presiden bertarung dengan DPR, akan goyang. Mereka lalu bergaining-kan banyak hal sehingga proses pemilihan ini tidak independen," lanjut Andi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.