JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mendesak Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali menunjukkan sikap yang jelas terhadap permasalahan korupsi yang marak terjadi di lembaga yudisial.
Menurut salah satu anggota KPP, Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, belum ada langkah konkret yang dilakukan oleh elit lembaga peradilan sejak ditangkapnya Panitera Sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan permintaan pencegahan terhadap Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
"Ketua MA harus memberikan pernyataan mengenai apa yang terjadi di dalam keseluruhan lembaga peradilan. Sampai saat ini belum ada langkah konkret," ujar Bivitri saat jumpa pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2016).
(Baca: KPK Sita Uang Rp 1,7 Miliar dalam Berbagai Pecahan Asing di Rumah Sekretaris MA)
Bivitri menjelaskan, kasus penangkapan panitera PN Jakarta Pusat dan pencegahan Sekretaris MA membuka kembali catatan praktik mafia peradilan di lembaga yudisial.
Menurut catatan KPP, sedikitnya ada 35 orang hakim, panitera, dan pegawai pengadilan yang terjerat kasus korupsi sejak KPK berdiri. Rentetan kasus tersebut menunjukkan adanya praktik korupsi yudisial yang sistemik, massif, dan mengakar di institusi pengadilan.
Jika berkaca pada jumlah pengadilan di Indonesia yang mencapai 825 pengadilan maka potensi penyimpangan juga sangat besar. Belum lagi persoalan pengawasan yang lemah, semakin memperbesar potensi korupsi di tubuh pengadilan.
Sayangnya, menurut Bivitri, persoalan serius ini belum direspon dengan baik oleh Ketua MA.
(Baca: Sekretaris MA Nurhadi Dicegah ke Luar Negeri)
Sikap tidak jelas Ketua MA menunjukkan tidak adanya komitmen dalam melakukan pembenahan secara menyeluruh. Tidak adanya sikap tersebut tentu akan menggangu marwah dan martabat lembaga peradilan.
Lebih jauh, hal tersebut bisa membuat semakin memudarnya kepercayaan publik.
"Nampaknya persoalan mafia hukum atau korupsi yudisial bukan menjadi sesuatu yang penting bagi ketua MA," kata Bivitri.