JAKARTA, KOMPAS.com - Maria Katarina Sumarsih pernah sempat berpikir untuk tidak lagi melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara.
Lintasan pikiran ini muncul karena Presiden Joko Widodo pernah berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dengan jalur yudisial maupun non yudisial.
Namun, hingga kini janji tersebut belum diwujudkan Jokowi.
"Saya sempat akan berhenti. Berharap pada Pemerintahan Jokowi akan benar mewujudkan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM," kata Sumarsih, dalam diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/4/2016).
"Dalam perkembangannya, kasusnya hanya dipolitisasi," ujarnya.
Sumarsih adalah ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan (Wawan), mahasiswa Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya Jakarta, yang tertembak oleh aparat ketika melakukan pengamanan demonstrasi mahasiswa pada 13 November 1998.
Demonstrasi besar-besaran tersebut terjadi karena mahasiswa menolak Sidang Istimewa yang dinilai inkonstitusional, menuntut dihapusnya dwifungsi ABRI dan meminta Presiden BJ Habibie untuk segera mengatasi krisis ekonomi.
Pasca-peristiwa yang dikenal dengan Tragedi Semanggi I itu, Sumarsih aktif turun ke jalan. Dia melakukan advokasi bersama eleman mahasiswa dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia.
Langkah itu termasuk menggelar aksi diam setiap Kamis di seberang Istana Negara sejak 18 Januari 2007.
Sudah lebih 17 tahun berlalu sejak Wawan tertembak di Semanggi, Sumarsih belum juga mendapatkan kepastian dari pemerintah bahwa kasusnya tersebut akan dibawa ke pengadilan.
Salah seorang peserta diskusi yang hadir bertanya kepada Sumarsih, apakah dia masih percaya dengan janji Pemerintah yang pernah dilontarkan saat masa kampanye pilpres.
Sumarsih hanya menjawab singkat...
"Sekecil apapun saya selalu memelihara harapan. Saya tetap bertahan untuk mengambil sikap ini. Jika pemerintah benar mau menyelesaikan, ya tidak perlu keluar dari mekanisme UU yang ada."