JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden diminta tak hadir untuk membuka Muktamar Islah Partai Persatuan Pembangunan, 8 April mendatang demi menghormati proses hukum yang tengah berjalan.
Kuasa Hukum Djan Faridz, Humphrey R Djemat, menuturkan, saat ini, mediasi tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mencari perdamaian dari kedua belah pihak.
"Apakah pantas, lagi mau dilakukan perdamaian lalu dari pihak tergugat yaitu pemerintah, menghadiri muktamar? Berarti kan tidak menghormati pengadilan," kata Humphrey di PN Pusat, Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, Rabu (6/4/2016).
Dia menambahkan, muktamar tersebut tak memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, menurut Humphrey, tindakan pemerintah yang bisa dibenarkan secara hukum adalah memberikan pengesahan untuk kepengurusan hasil Muktamar Jakarta sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.
Setelah itu, barulah ditampung semua pihak dalam kepengurusan Muktamar Jakarta itu.
"Kalau itu dilakukan, tidak akan ada lagi masalah hukum," ujarnya.
Adapun proses hukum yang berjalan di PN Pusat saat ini tengah dalam proses mediasi. Mediasi sempat tertunda pada persidangan kedua.
Meski perwakilan dua tergugat hadir pada sidang, Selasa (29/3/2016), hakim Baslin Sinaga yang memimpin sidang memutuskan untuk tetap menundanya. Pasalnya, surat kuasa yang diberikan kepada tim hukum Kemenkumham tidak ditandatangani oleh Yasonna.
Namun, pada persidangan hari ini, surat kuasa yang diberikan pada tim hukum tergugat seluruhnya ditandatangani langsung oleh tergugat sehingga bisa dinaikkan ke proses mediasi. Djan Faridz sebelumnya mengajukan gugatan terhadap pemerintah lantaran tidak melaksanakan putusan Mahkamah Agung Nomor 601/2015.
(Baca juga: Jokowi, Luhut, dan Yasonna Diminta Hadiri Langsung Mediasi PPP di Pengadilan)
Dalam putusannya, MA membatalkan putusan PTUN yang mengesahkan SK kepengurusan PPP hasil Muktamar Surabaya. Menkumham telah mencabut SK kubu Romahurmuziy pada Januari 2016. Meski demikian, Menkumham tak mengesahkan kepengurusan Djan Faridz.
Sebaliknya, Menkumham justru menghidupkan kembali pengurus PPP hasil Muktamar Bandung dan memberi tenggat waktu enam bulan untuk menyelenggarakan muktamar islah.
Menurut Djan, tindakan yang dilakukan pemerintah merupakan perbuatan melawan hukum. Tak hanya menggugat ketiganya, Djan juga menuntut ganti rugi sebesar Rp 1 triliun kepada pemerintah.