Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, sejak Orde Baru runtuh, upaya pencarian naskah otentik terus dilakukan.
Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.
UU kearsipan itu berisi aturan tentang sanksi maksimal hukuman penjara selama 10 tahun bagi orang yang menyimpan arsip negara dan tidak menyerahkannya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Selain itu, Daftar Pencarian Arsip (DPA) juga disinggung.
(Baca: Arsip Supersemar 1966)
Sayangnya, sampai sekarang, peraturan pemerintah atas UU Kearsipan belum dikeluarkan.
"Sebenarnya, ini bisa menjadi jalan keluar untuk mencari Supersemar," ujar Asvi dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016).
Menurut Asvi, apabila pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana, maka ANRI akan punya wewenang untuk menggeledah rumah mantan Presiden RI, Soeharto, di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Asvi percaya, naskah otentik Supersemar masih disimpan oleh Soeharto atau keluarganya.
"Soeharto orang yang sangat menghargai benda-benda yang memiliki arti bagi dirinya," kata Asvi.
(Baca: Supersemar dan Kontroversinya)
Oleh karena itu, ia mengusulkan kepada pemerintah untuk segera menerbitkan PP atas UU Kearsipan agar ANRI memiliki wewenang lebih luas dalam melakukan pencarian arsip-arsip sejarah nasional.
"Dengan ada ketentuan ini, maka petugas arsip, misalnya, dapat memeriksa rumah mantan Presiden RI, Soeharto, di Jalan Cendana kalau-kalau arsip itu masih terselip di sana," kata Asvi.
Dokumen Supersemar yang diteken Presiden pertama RI, Soekarno, pada 11 Maret 1966, menjadi momentum peralihan kuasa kepada Soeharto yang kemudian menjadi presiden RI selanjutnya.
Isi Supersemar itu mengundang kontroversi karena beberapa pihak yakin bahwa tak ada klausul penyerahan kekuasaan. Yang ada hanyalah instruksi Presiden Soekarno kepada Soeharto untuk menstabilkan situasi Tanah Air yang kacau-balau.