Dia pun menganggap ada pemahaman keliru terkait Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang menyebutkan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum.
Dia menambahkan, selama dirinya mengikuti kegiatan dalam Tim Persiapan Pembentukan Komisi Anti Korupsi, di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada 2000 tak pernah ada pembicaraan mengenai keharusan unsur jaksa atau kepolisian sebagai pimpinan KPK.
(Baca: Jokowi: Menurut Undang-undang, DPR Harus Pilih Capim KPK yang Diajukan Pemerintah)
Chandra juga menyinggung mengenai ketentuan Pasal 29 huruf d yang menyatakan bahwa syarat pimpinan KPK harus berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan.
Menurut dia, ketentuan tersebut dilatarbelakangi pemikiran bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum. Pendekatan di bidang ekonomi, keuangan, atau perbankan juga diperlukan.
(Baca: Ada Fraksi yang Ingin Kembalikan Capim KPK ke Presiden)
"Mengenai apakah calon-calon pimpinan KPK memenuhi syarat tersebut atau tidak, silakan DPR yang menilainya," ujar praktisi hukum tersebut.
Ditunda lagi
Di dalam rapat internal yang dilakukan pada Rabu (25/11/2015), Komisi III DPR memutuskan untuk menunda penentuan kelanjutan uji kepatutan dan kelayakan delapan calon pimpinan KPK. Ada sejumlah alasan yang dikemukakan komisi ini saat kembali menggantungkan nasib para capim.
Salah satunya adalah ketiadaan unsur jaksa di antara delapan capim yang diserahkan oleh pemerintah kepada DPR. (Baca: Pansel Kecewa jika DPR Kembalikan Capim KPK ke Presiden)
Menurut beberapa fraksi, perlu ada keterwakilan dari jaksa karena di dalam UU disebutkan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Bagi sejumlah fraksi, penuntut umum hanya bisa dijalankan oleh seseorang yang memiliki latar belakang sebagai jaksa.